Kamis, 27 Mei 2010

Konflik UISU

BAB I
PENDAHULUAN



1. 1. Latar Belakang Masalah
Surat kabar hadir di tengah massanya dengan menyajikan aneka berita umum bukan berarti semua itu diterima begitu saja oleh khalayak. Khalayak memilih pesan sesuai dengan kebutuhannya dihubungkan dengan ruang lingkup pengetahuan dan pengalamannya sebagaimana yang dikatakan Arifin, khalayak menyatakan pilihannya, pada apa yang cocok dengan kerangka referensinya dan lapangan pengalamannya. 
Konflik dalam berita, merupakan fenomena masyarakat–media menyukai konflik dengan berita-beritanya untuk mempengaruhi kelompok-kelompok dalam masyarakat, peristiwa-peristiwa konflik meningkatkan perluasan publikasi dan penyiarannya  
Berita konflik di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) semenjak Desember 2006 hingga terjadinya tragedi 9 Mei 2007 telah menarik perhatian khalayak baik secara langsung maupun melalui media massa. 
Demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Aksi Mahasiswa UISU sejak tanggal 4 Desember 2006, kondisi ini telah melumpuhkan aktivitas PHY UISU yang dipimpin oleh Hj. Sariani, dengan sembilan tuntutan mahasiswa yaitu :
a. Bubarkan PH.Yayasan UISU yang dipimpin Hj. A.M Sariani, yang tidak amanah dengan melakukan penyalahgunaan terhadap harta wakaf yang dimiliki UISU
b. Tangkap dan adili oknum-oknum PHY UISU yang melakukan penggelapan dana dan harta wakaf UISU. Kembalikan harta UISU untuk melengkapi fasilitas kampus.
c. Bentuk PH.Yayasan UISU yang baru dengan melibatkan unsur pendiri UISU.
d. Segera melaksanakan pemilihan Rektor definitif sesuai dengan aturan yang berlaku
e. Sejahterakan dosen dan karyawan UISU
f. Tegakkan demokratisasi di kampus UISU, dengan membebaskan mahasiswa dalam mengeluarkan pendapat di muka umum.
g. Hentikan tindakan sewenang-wenang dan intimidasi terhadap mahasiswa, dosen dan karyawan UISU dalam melaksanakan kreativitas yang menunjang akademik 
h. Mendukung pelaksanaan akademik UISU yang ilmiah dan objektif.
i. Kembalikan kejayaan UISU
Kemudian, mahasiswa menduduki kampus dan tetap mendukung berjalannya kegiatan akademis. Sementara yang berkantor di gedung Yayasan adalah anak-anak pendiri UISU yaitu Alm.H.Bahrum Jamil, SH, Alm. Sabaruddin Ahmad, dan anak Alm. Rivai Abdul Manaf. Ir.Helmi Nasution menjadi Ketua Umum, membentuk kepengurusan Yayasan UISU dengan menotariskan akte Yayasan UISU. Sedangkan mahasiswa tetap mengawal proses transisi demokrasi, dengan melakukan konsolidasi total yang programatik serta transformasi sosial baik internal maupun eksternal kampus.
Namun, perbedaan pandangan di kalangan mahasiswa dalam hal eksistensi (apakah memihak kepada salah satu kubu atau netral), menjadi hegemoni penguasa untuk melakukan penggembosan gerakan mahasiswa. Ini dibuktikan dengan bentrokan antar pendukung pada tanggal 11 dan 26 Januari 2007. Disinilah media membaca bahwa kekuatan mahasiswa terpecah. Ditambah lagi dengan masing-masing kubu membentuk kekuatan baru dari struktur fakultas, rektorat yang dibentuk dengan mekanisme demokrasi ‘kejar setoran’.
Setelah mengetahui keabsahan PH. Yayasan Sariani dari pengumuman Dirjen Administrasi Umum, maka dengan kekuatan hukum tersebut, PH. Yayasan Hj. Sariani berniat mengambil alih kampus UISU setelah 6 bulan diduduki oleh Helmi Cs, dengan mengerahkan 300 personil satuan pengaman (Satpam) berusaha memasuki kampus UISU pada tanggal 9 Mei 2007. 
 Bagaimana struktur pewacanaan yang dibangun untuk memihak kepada salah satu kubu. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika kubu salah satu Yayasan yang muncul adalah kategori yayasan pembantai dan bengis, bukan yang lain.
Secara eksplisit media mengkonstruksi adanya “Pandangan Kubu Sariani” dan “Pandangan Kubu Helmi”, dan sebagainya. Dalam konteks inilah mereka menggunakan bahasa-bahasa simbolik atau retorika dengan konotasi tertentu yang pada umumnya bermuara pada membenarkan tindakan sendiri dan memburukkan pihak lain.
Pruitt dan Rubin mengatakan konflik sosial didefinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan-terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif integratif dinilai sulit. meskipun konflik sosial dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia yang pantas sebagai persemaian subur bagi tejadinya perubahan sosial. 
Konflik sosial sebagai kekuatan kreatif dapat memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan organisasi di masyarakat. Dengan adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual atau organisasi yang berbeda, maka solidaritas kelompok akan meningkat dengan membawa serta efektivitas organisasi dan kenikmatan pengalaman kelompok.  
Suatu konflik sosial, pada umumnya dipahami dalam dua kategori. Pertama ditempatkan sebagai suatu kejadian, peristiwa, atau fakta, pertikaian antara satu pihak (pihak I) dan pihak lain (pihak II). Kasus-kasus seperti perkelahian, tawuran, perang, aksi massa, demonstrasi, revolusi sosial, dan lain-lain, merupakan sejumlah contoh dari peristiwa konflik sosial. Kedua konflik sosial diposisikan sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat dan memandang peristiwa-peristiwa sosial. 
Keberadaan media massa dalam kondisi konflik yang memerlukan dukungan moral, ekonomi dan politik dari publik kepada masing-masing pihak. Betapa potensialnya bias atau manipulasi dalam pemberitaan media pun cukup besar. 
Di sini kita melihat bahwa media dalam pemberitaan konflik bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Dengan melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi, termasuk komunikasi massa dengan pandangan holistik. Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi.  
Dengan memilih berita konflik UISU, penulis mengambil sampel Sumut Pos dan Koran Sindo yang cukup intens memuat perkembangan konflik tersebut. Sumut Pos yang mengklaim representatif bagi masyarakat Sumatera Utara dengan jaringan JPNN (Jawa Pos News Network), Sumut Pos dapat menjamin tersedianya berita-berita nasional dan internasional yang ekslusif. Beritanya selalu “beda” dan lebih menarik dengan media lain yang “seragam”. Berita daerah dan metropolis dikerjakan para reporter yang tersebar di seluruh daerah disempurnakan redaktur profesional. Diharapkan pembaca mendapatkan berita “jernih” dan memuaskan tentang kondisi politik dan ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang kritis yang ingin maju. Sedangkan sebagai pembanding adalah Koran Sindo.
Koran Seputar Indonesia (Sindo) berpengalaman dalam mengelola media serta terbilang mapan dan berpengaruh, baik di kalangan masyarakat maupun pengambil keputusan. Koran Sindo mengklaim menyajikan berita yang bersifat non Partisan atau tidak memihak dan dapat dipercaya.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba menganalisis wacana yang membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa yang terjadi di UISU dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut dalam narasi yang diberitakan Harian Sumut Pos dan Koran Sindo(Seputar Indonesia). Sehingga konstruksi struktur pewacanaan (diskursif) mengenai berita UISU secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur pewacanaan sebagai suatu keseluruhan melalui kebudayaan berfikir, sehingga dengan kita mengerti dan memahami suatu berita peristiwa konflik UISU dengan pernyataan dan pandangan tertentu. Atas dasar epistemologi, perspektif teoretikal, metodologi, serta metode yang mendiami ranah paradigma kritis. Penelitian ini kelak merupakan sebuah studi interpretatif dari tipe analisis wacana kritis yang terutama mengusut bagaimana kekuasaan dipersuasi ; bagaimana dominasi serta ketidakadilan yang ada di dalam suatu struktur sosial. 
Dengan latar belakang di atas penulis tertarik untuk menulis ke dalam penelitian : 
“Analisis Wacana Kritis Berita Konflik UISU pada Surat Kabar Sumut Pos dan Koran Sindo”

1. 2. Perumusan Masalah
“Bagaimanakah Harian Sumut Pos dan Koran Sindo mengkonstruksi berita peristiwa konflik UISU ?”.

1. 3. Pembatasan Masalah
a. Titik perhatian analisis pada penafsiran subjektif terhadap pemberitaan konflik UISU di Sumut Pos dan Koran Sindo pada bulan Mei 2007.
b. Mengutamakan multilevel analisis dengan pendekatan analisis intertekstual, komprehensif dan kontekstual.
c. Memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik berita dari teks berita.




1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
a. Melihat realitas dan hubungan sosial berlangsung dalam situasi yang timpang pada pemberitaan konflik UISU di Sumut Pos.
b. Menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang masyarakat, dan mengkritik sistem kekuasaan yang tidak seimbang dan struktur yang mendominasi.
c. Agar media lebih peka dan lebih adil dengan memberi tempat yang selayaknya bagi suara mahasiswa.
d. Menyingkap sumber ketidakadilan dan berusaha melakukan transformasi sosial untuk mengubah situasi yang tidak adil.
1.4.2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ragam penelitian ilmu komunikasi terutama di bidang analisis teks media, sebagai literatur di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Sumatera Utara. 
b. Secara praksis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kelompok-kelompok pro-demokrasi di Indonesia dan bagi pengelola media di Sumatera Utara.



1. 5. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis menyajikan beberapa teori yang relevan dalam membentuk perspektif penulis untuk melihat pemberitaan Harian Sumut Pos dan Koran Seputar Indonesia mengenai berita Konflik UISU. Adapun teori tersebut adalah sebagai berikut: 

1.5.1. Ideologi
Sejak pertama kalinya dipakai oleh Destutt de Tracy di masa kekuasaan Napoleon Bonaparte (akhir abad 18). Ideologi, menjadi konsep penting dalam kajian sosial sampai abad 19. Bagi de Tracy ideologi adalah ilmu pengetahuan (baru) tentang ide-ide untuk menemukan “kebenaran”. 
Menurut Sudibyo setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu, ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. 

1.5.2 Media Massa dan Berita dalam Paradigma Kritis
Media massa dapat dijadikan sumber kekuatan kontrol manajemen dan inovasi yang dapat didayagunakan, alih-alih media menjadi forum yang sangat berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat dalam taraf nasional dan internasional. Sedangkan berita adalah laporan mengenai hal atau peristiwa yang baru saja terjadi menyangkut kepentingan umum dan disiarkan secara cepat oleh media massa, yaitu surat kabar, majalah, radio siaran, dan televisi siaran.  
Stephen W. Littlejohn, seperti dikutip Alex Sobur, menjelaskan: “Perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi Eropa berusaha mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene adalah penganut aliran Laswellian ataupun stimulus-respon, teori yang berasumsi khalayak adalah konsumer pasif media massa. Dengan kata lain, fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses yang linear atau sebatas transmisi (pengiriman) pesan kepada khalayak massa, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan (atau teks) berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna tertentu.” 
Menurut Stuart Hall, paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. 
Karena melalui media, nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Sehingga media merupakan sebuah alat penyebaran ideologi kelas dominan (para penguasa maupun pemilik modal). Sehingga komunikasi didefinisikan sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan memproduksi makna tertentu, dimana komunikasi tersebut tentunya mewakili kepentingan kelompok dominan. 
Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Bahkan, media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch, menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). 
Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”
Louis Althusser, menulis bahwa, “Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai saran legitimasi. Media massa sebagimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).”
Namun, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci, dalam Al-Zastrouw, mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antara ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competiting ideologies).
Antonio Gramsci dalam Alex Sobur melihat, “Media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.” 
Sehingga media massa merupakan alat atau sarana penyebaran ideologi kelompok dominan, alat legitimasi, dan alat kontrol sosial atas wacana publik. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek diskursif oleh media terhadap kelompok-kelompok marjinal, yang ditekan oleh kelompok dominan (penguasa). Bahkan, praktek diskursif tadi dapat dimanfaatkan media sebagai alat legitimasi atau pembenaran-pembenaran terhadap suatu konteks permasalahan yang tidak sesuai dengan ideologi dominan.
Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Begitu juga media cetak, isi media cetak menggunakan teks dan bahasa. 
Guy Cook menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.”
Menurut Ibnu Hamad, benar bahwa unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa. Kemudian ia mengutip dari Giles dan Wiemann, “bahasa (teks) mampu menentukan konteks”. Karena lewat bahasa disini orang mencoba mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks. 
Norman Fairclough melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Karena bahasa secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Sehingga dalam menganalisis wacana, Fairclough memusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.
Untuk kalangan kritis (critical), bahasa dipandang sebagai alat perjuangan kelas. Makna dalam hal ini tidak ditentukan oleh struktur realitas, melainkan oleh kondisi ketika pemaknaan dilakukan melalui praktek sosial, dimana terdapat peluang yang sangat besar bagi terjadinya pertarungan kelas dan ideologi.

1.5.3. Analisis Wacana Kritis
Menurut Fairclough dan Wodak (1997:258), analisis wacana kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tuturan tulisan—sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan:ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. 


Karakteristik penting dari analisis wacana kritis :
a. Tindakan : mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi.
b. Konteks; yaitu dengan mempertimbangkan konteks wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.
c. Historis ; yaitu dengan mengetahui situasi sosial politik yang terjadi pada saat itu.
d. Kekuasaan; sebagai kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat yang merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
e. Ideologi
Everett M. Roger, seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.” Pernyataan Everett M. Roger bahwa media memiliki kemungkinan besar dikuasai oleh kelompok berkuasa atau kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan. 
Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis. Yaitu: siapa yang mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek pengontrolan?.
Mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting? Karena paradigma kritis ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Sehingga jawaban yang diharapkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol suatu proses komunikasi.
Menurut Horkheimer, seperti dikutip Eriyanto, salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.
 Ciri-ciri analisis wacana kritis :
a. Analisis wacana kritis lebih kualitatif dengan mementingkan interpretasi guna pemaknaan teks. Mengandalkan penafsiran peneliti dalam mengumpulkan, mengolah data, dan menganalisis data. Isi tidak dipandang eksak, dimana peneliti dan khalayak tidak harus punya penafsiran yang sama atas suatu teks. Yang dipandang adalah: setiap teks dapat dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan secara beragam, sehingga–bagi sebagian orang-dapat dianggap subjektif, tidak objektif sebagai tradisi interpretivisme.
b. Analisis wacana memfokuskan diri pada pesan yang tersembunyi (latent). Makna pesan tidak semata hanya ditafsirkan berdasarkan dalam teks, melainkan juga yang tersembunyi. Analisis wacana berfokus pada muatan, nuansa, dan makna latent dalam teks media.
c. Analisis wacana bukan mengamati fakta empiris sensual semata, tapi juga empiris logik dan dan etik yang menyangkut nilai.  

1.5.4. Analisis Wacana Theo Van Leeuwen
Pada penelitian ini, penulis menggunakan model analisis wacana yang dibangun Theo van Leeuwen (1986), untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya di dalam pemberitaan Konflik UISU di Sumut Pos dan Koran Sindo. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan buruk. 
Dengan kata lain, aspek ideologi akan diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa ideologi tertentu. Ideologi dalam taraf yang umum menunjukkan bagaimana satu kelompok berusaha memenangkan dukungan publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu.
Ada dua pusat perhatian. Pertama, proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini, secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Kedua, proses pemasukan (inclusion), yakni berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.
Baik proses eksklusi maupun inklusi tersebut menggunakan apa yang disebut sebagai strategi wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, saat bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks berita pada Harian Sumut Pos dan Koran Sindo.

1.6. Kerangka Analisis
Berdasarkan kerangka teori yang disusun, selanjutnya perlu disusun kerangka analisis yang di dalamnya terdapat strategi wacana yang meliputi struktur wacana, hal yang diamati dan elemen. Kerangka analisis ini akan menginterpretasikan elemen-elemen pada struktur wacana meliputi pengeluaran (exclusion) maupun pemasukan (inclusion) dari berita konflik UISU di Harian Sumut Pos dan Koran Sindo yang akan diteliti. 
Analisis wacana tidak bertujuan melakukan generalisasi dengan asumsi. Diantaranya, setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu-isu dan kasus berbeda. 
Adapun kerangka analisis yang akan dibahas dalam konstruksi Berita Konflik UISU pada Harian Sumut Pos dan Koran Sindo adalah sebagai berikut :


Tabel I
Kerangka Analisis
Konstruksi Berita Konflik UISU Di Harian Sumut Pos dan Koran Sindo

STRUKTUR 
WACANA PERIHAL YANG MENJADI PENGAMATAN ELEMEN
Eksklusi

 1. Aktor (seseorang/kelompok) yang dihilangkan atau disembunyikan dalam pemberitaan
2. Upaya media mengedepankan salah satu aktor dan menghilangkan aktor lain
3. Efek dari penghilangan
4. Strategi yang dilakukan media untuk menghilangkan aktor sosial a. Pasivasi
b. Nominalisasi
c. Penggantian anak kalimat
Inklusi

 1. Tampilan aktor sosial
2. Strategi yang dilakukan untuk memarjinalkan
 a. Diferensiasi-Indiferensiasi
b. Objektivasi-Abstraksi
c. Nominasi-Kategorisasi
d. Nominasi-Identifikasi
e. Determinasi-Indeterminasi
f. Asimilasi-Individualisasi
g. Assosiasi-Disosiasi
Sumber : Eriyanto, Hlm.192

1.6.1. Struktur Wacana
a. Eksklusi : proses bagaimana satu kelompok dalam konflik UISU tidak dilibatkan pada suatu pembicaraan atau wacana. 
b. Inklusi : proses bagaimana satu kelompok dilibatkan dalam konflik UISU pada suatu pembicaraan atau wacana.
1.6.2. Perihal yang Menjadi Pengamatan
Perihal yang menjadi pengamatan pada proses eksklusi meliputi :
1. Aktor (seseorang/kelompok) yang dihilangkan atau disembunyikan dalam pemberitaan.
2. Upaya media mengedepankan salah satu aktor dan menghilangkan aktor lain
3. Efek dari penghilangan
4. Strategi yang dilakukan media untuk menghilangkan aktor sosial
Sedangkan pada proses inklusi perihal yang menjadi pengamatan yaitu :
1. Tampilan aktor sosial
2. Strategi yang dilakukan untuk memarjinalkan

1.6.3. Elemen
Elemen eksklusi meliputi :
 Pasivasi : strategi yang dipakai media dengan pemakaian kalimat pasif.
 Nominalisasi : mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda.
 Penggantian anak kalimat : penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.



Sedangkan elemen inklusi meliputi :
 Diferensiasi-Indiferensiasi : strategi bagaimana suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.
 Objektivasi-Abstraksi : strategi apakah informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan petunjuk yang konkrit ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi.
 Nominasi-Kategorisasi : bagaimana suatu kelompok dimarjinalkan atau dikucilkan dengan memberikan kategori atau label yang buruk.
 Nominasi-Identifikasi : bagaimana suatu kelompok, peristiwa, atau tindakan tertentu didefinisikan, dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.
 Determinasi-In determinasi : aktor atau peristiwa yang disebutkan tidak jelas.
 Asimilasi-Individualisasi : apakah aktor sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak.
 Assosiasi-Disosiasi : bagaimana aktor atau pihak yang ditampilkan sendiri ataukah ia dihubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar.


1.7. Metodologi Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis wacana kritis penulis menggunakan model analisis wacana yang dibangun Theo van Leeuwen (1986), untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya di dalam pemberitaan Konflik UISU. Mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis. Dengan mempergunakan pendekatan komparatif–interteks pada Harian Sumut Pos dan Koran Sindo. Analisis pada penafsiran subjektif peneliti terhadap pemberitaan konflik UISU di Sumut Pos dan Koran Seputar Indonesia (Sindo) pada bulan Mei 2007. 
Keunggulan studi semacam ini akan sangat tergantung pada kemampuan peneliti dalam membangun pijakan teoretis dan kerangka pemikiran yang kuat sebagai pijakan dalam melakukan penalaran, sehingga penafsiran yang dihasilkannya mempunyai argumentasi yang memadai. 
Pendekatan interteks ini bertujuan untuk membuat perbandingan atau evaluasi, untuk mengumpulkan informasi aktual secara komprehensif yang dapat mengkonstruksi berita pada setiap teks, kalimat dan frase yang ada dan menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang dikritisi secara menyeluruh. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dibuat perbandingan dan kemudian dianalisis. Hasilnya bukan generalisasi, tetapi lebih memperdalam bagaimana konflik UISU ini dijelaskan dengan relasi sosial yang rumit. Semua karakter sosial yang relevan dengan pembentukan atau penerimaan wacana sesuai dengan konteksnya. Analisis konteks sosial dalam analisis wacana sama pentingnya dengan analisis teks itu sendiri.

1.7.2. Pemilihan Berita yang Diteliti
Subjek penelitian yaitu 8 berita pada Harian Sumut Pos dan 10 berita dari Koran Sindo. Adapun tabulasi berita tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel II
Tabulasi Berita
No Surat Kabar Judul Berita
1. Sumut Pos
Kamis, 10 Mei 2007 - Serangan Fajar di UISU
- Korban Luka-luka
2. Sumut Pos
Jum’at 11 Mei 2007 - Polisi Ambil Alih Kampus UISU
- Desak Pemerintah Ambil Alih
- Bara Gugat di Kampus Munawarrah
- Universitas Islam Sumatera Utara Dinukilkan dengan Kata-kata 
3. Sumut Pos 
Rabu 16 Mei 2007 - 21 Mei Mahasiswa UISU Kembali Kuliah
  Mahasiswa Pendam Niat Pindah Kampus
4. Sumut Pos
Senin 21 Mei 2007 - Kubu Sariani Masih Dongkol
  Djanius Djamin Pl Rektor UISU
5. Koran Sindo
10 Mei 2007 - Kampus UISU Dilanda Bentrok Berdarah
- Polisi Sterilkan Kampus UISU
6. Koran Sindo
Jum’at 11 Mei 2007 - Bentrok Berlanjut,Kampus UISU Dikosongkan
- Polisi Siagakan Mobil Taktis di UISU
7. Koran Sindo
Sabtu 12 mei 2007 - Pemerintah Kemungkinan Ambil Alih UISU
8. Koran Sindo
Minggu 13 Mei 2007 - Mahasiswa Jadi Korban
9. Koran Sindo
Senin 14 Mei 2007 - Rektor UISU Ditunjuk dari Akademisi
10. Koran Sindo
Selasa 15 Mei 2007 - Kapolda Sumut Dipraperadilankan
11. Koran Sindo
Kamis 17 Mei 2007 - Hj Sariani Ditetapkan Tersangka Penyerangan
12. Koran Sindo
Jum’at 17 Mei 2007 - KONFLIK UISU - Helmi Nasution Ditangkap di Jakarta

1.7.4. Analisis Data 
Analisis wacana pada paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran peneliti pada teks, dengan menafsirkan apa makna yang muncul dengan bentuk representasi dari setiap berita konflik UISU di Harian Sumut Pos dan Koran Sindo, baik pengeluaran (exclusion) maupun pemasukan (inclusion). Apakah ada aktor (seseorang/kelompok sosial) yang dihilangkan atau disembunyikan atau dihilangkan dalam pemberitaan. 
Wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin menginterpretasi hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.
Bagaimana strategi yang dilakukan Sumut Pos dan Sindo untuk menyembunyikan atau menghilangkan aktor sosial tersebut. Kemudian, dari aktor sosial yang disebut dalam berita, bagaimana mereka ditampilkan? Dan dengan strategi apa pemarjinalan atau pengucilan itu dilakukan. 
Ketika menafsirkan teks berita Konflik UISU, pengalaman, latar belakang budaya peneliti, pendidikan, afiliasi politik, bahkan keberpihakan mempengaruhi hasil interpretasi.
Dalam penelitian ini, untuk menginterpretasi penyajian berita konflik UISU pada Sumut Pos dan Sindo tidak dapat dihindari unsur subjektivitas peneliti sebagai Koordinator Media dan Propaganda pada Aliansi Aksi Mahasiswa UISU. 

1. 8. Sistematika Penulisan
Untuk membahas sistematika yang ada, maka penulisan dibagi dalam beberapa bab sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, terdiri atas :Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Analisis, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : URAIAN TEORITIS, terdiri atas : Teori Ideologi, Teori Media dan Berita dalam Paradigma Kritis, Teori Analisis Wacana Kritis, dan Analisis Wacana Theo van Leuween.

BAB III : PROFIL SURAT KABAR, meliputi : Harian Sumut Pos (Sejarah dan Perkembangan serta Struktur Organisasi), Koran Sindo (Sejarah dan Perkembangan serta Struktur Organisasi).

BAB IV : ANALISIS DATA, terdiri dari : Struktur Wacana, Proses Pengeluaran (Exclusion) dan Proses Pemasukan (Inclusion)
BAB V : PENUTUP, terdiri : Kesimpulan dan Saran



BAB II 
URAIAN TEORITIS


2.1. Teori Ideologi
Ada banyak definisi ideologi. Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah . Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai perangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Pengurus Harian Yayasan UISU yang dipimpin oleh Hj.Sariani AS mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demonstrasi mahasiswa yang meletus pada tanggal 4 Desember 2006 dan 9-10 Mei 2007. Beberapa pihak percaya bahwa mahasiswa yang berdemonstrasi mengganggu kelangsungan akademis di kampus UISU. Oleh karena itu, demonstrasi mahasiswa tidak boleh ada, karena hanya menyusahkan orang lain dan membuat keresahan dan kemacetan lalulintas. Jika kita bisa memprediksikan sikap seseorang atau kelompok semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa seseorang atau kelompok tersebut mempunyai ideologi kapitalis dan borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya.
Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat – ide palsu atau kesadaran palsu – yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat. 
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita konflik UISU secara ideologi adalah kapitalis. Dalam ideologi semacam ini, kekuatan kapital dianggap dan dipandang paling berperan dalam produksi masyarakat. Mahasiswa hanyalah sekrup yang kuliah dan membayar uang kuliah demi terselenggaranya pendidikan yang pada akhirnya menciptakan produktivitas dalam masyarakat. Yang ditekankan di sini bukan betpa kecilnya gaji karyawan, dosen serta fasilitas kampus yang minim demi terselenggaranya pendidikan yang ilmiah dan objektif. Yayasan berperan dalam pengelolaan keuangan pendidikan di UISU, sementara aksi mahasiswa menciptakan kekacauan. Bagaimana ideologi ini bekerja dalam memproduksi makna dapat dilihat dari bagaimana tindakan masyarakat sekitar UISU dan penguasa kampus itu digambarkan dan bagaimana posisi kelompok yang terlibat diposisikan. Masyarakat dan mahasiswa digambarkan sebagai pihak yang anarkis yang melakukan cara-cara kekerasan agar tuntutannya terpenuhi. Cara kekerasan dengan melakukan pemblokiran itu sangat mengganggu kegiatan produksi di Kota Medan secara keseluruhan. 

2.2. Teori Media dan Berita dalam Paradigma Kritis
2.2.1. Paradigma Kritis
Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.
Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi interpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah George Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.
Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo Kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern. 
Ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spekulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri – rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

2.2.2. Pengaruh Teori Kritis dalam Wacana Ilmu Komunikasi 
Teori Kritis dengan ilmu komunikasi sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu komunikasi di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi informasi bahkan sebelum perang dunia I. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan komunikasi massa di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu komunikasi dipenuhi dengan paradigma positivistik. 
Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.
Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.
Riset komunikasi yang berkembang bersamaan dengan asumsi pemikiran administratif adalah riset studi efek media massa. Selanjutnya dalam era 30-40-an pemikiran Teori Kritis mengembangkan studi tentang ekonomi politik media, analisis budaya atas teks, dan studi resepsi khalayak – studi ideologi dalam media yang pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat pada era 70-80-an.
Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. 
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan. 
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya. 
Studi Kajian Budaya Kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka media menjadi ideological apparatus. 
Studi resepsi kritis menempatkan bahwa kelompok khalayak terbagi dalam klasifikasi status sosial dan ekonomi. Secara politis, masyarakat terbagi dalam kelompok sosial yang mempunyai tingkat resepsi yang berbeda. Pendekatan Bordieu banyak memakai metode ini.  
2.2.3. Paradigma Kritis Dan Wacana Teks Media
Menurut Littlejohn (2002) Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. .
Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan ide, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis. 
Sedangkan Shoemaker & Reese menjelaskan bahwa pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis tapi terutama adalah kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut. Dalam arti bahwa, meski konsumen dan produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media. 
Menurut Hidayat (1999) pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yang berada di balik teks media yang bersangkutan menjadi hal yang penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media. .
Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.
Pendapat Golding dan Murdock menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan. 
Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).
Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.
Pemberitaan Konflik UISU untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah berita yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. 
Wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.
Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri. Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks berita Konflik UISU pada Sumut Pos dan Koran Sindo, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Peristiwa konflik UISU yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa konflik UISU diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan Harian Sumut Pos dan Koran Sindo. Itu berarti bahwa para awak Harian Sumut Pos dan Koran Sindo menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.  
Para awak Harian Sumut Pos dan Koran Sindo dalam konteks pemberitaan Konflik UISU selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman Harian Sumut Pos dan Koran Sindo terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.

2.3. Teori Analisis Wacana Kritis
Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Menurut Eriyanto analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana. 

2.3.1. Beberapa Pandangan Analisis Wacana Kritis
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam wacana : 
a. Positivisme-Empiris
Analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) – Analisis Isi (kuantitatif).
b. Konstruktivisme
Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. – Analisis Framing (bingkai).
c. Pandangan Kritis
Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis). 

2.3.2. Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis Eriyanto dari tulisan Teun van Dijk dan, Fairclough, dan Wodak. 
a. Tindakan
Prinsip, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara untuk dirinya sendiri, seperti kalau orang sedang mengigau atau di bawah hipnosis. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Kubu Sariani atau Helmi berbicara atau menulis pada Harian Sumut Pos atau Koran Sindo menyangkut konflik UISU mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
b. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks Berita Konflik UISU adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Disini dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa disini, memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak hanya tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Kedua setting sosial tertentu, seperti fisik tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana.
c. Historis
Aspek historis sangat penting bagi pemahaman teks. Misalnya, mengapa konflik UISU dapat terjadi, mahasiswa menentang Hj. Sariani Cs. pada Harian Sumut Pos terbitan Jum’at 11 Mei 2007 dengan judul Bara Gugat di Kampus Al Munawwarah. Pemahaman semacam ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat meletusnya Konflik UISU dari tahun 2005 hingga 2007. oleh karena itu untuk mengerti maengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
d. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Pada konteks ini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. 
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Hal ini mengimplikasikan analisis wacana kritis pemberitaan konflik UISU tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Dalam wacana berita konflik UISU, kelompok mana yang dominan mempunyai akses pengetahuan, uang, dan pendidikan. Dapat ditemukan, pemilik modal, politisi yang posisinya kuat menentukan sumber mana atau bagian mana yang harus diliput dan sumber mana atau bagian mana yang tidak perlu atau bahkan dilarang.
e. Ideologi 
Ideologi merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah membuat kesadaran palsu kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken from granted. 
Ideologi dari kelompok dominan dalam penelitian ini yaitu pemberitaan Hj.Sariani, Cs, Helmi Cs maupun Negara (Kepolisian, Dirjen Dikti dan Muspida Plus) hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui disinfomasi pernyataan sikap dalam pemberitaan Sumut Pos maupun Koran Sindo, seperti kelompok Hj. Sariani menyebabkan kerusuhan, penyerangan dan penganiayaan terhadap Kelompok Helmi Cs, sehingga kegiatan akademis UISU terganggu.
Ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan kohesi di dalam kelompok yang bertikai.dalam perspektif konflik UISU, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal ataupun individual : ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, yayasan, lembaga mahasiswa internal kampus atau kolektivitas dengan orang lainnya. 
Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kubu Sariani dan Helmi digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Katakanlah kelompok yang mempunyai ideologi anti perubahan, feodalistis, anti Sariani dan pro Helmi ataupun pro pemerintah.
Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok Sariani dan Helmi. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok dan membedakan dengan kelompok lain. Ideologi disini bersifat umum, abstrak, dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan di kampus UISU. Dengan pandangan seperti ini, wacana dalam konstruksi pemberitaan konflik UISU di Harian Sumut Pos dan Koran Sindo tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap konstruksi pemberitaan konflik UISU selalu terkandung ideologi kelompok-kelompok tertentu untuk mendominasi dan berebut pengaruh baik internal maupun eksternal kampus. 

2.4. Analisis Wacana Theo Van Leuween
Theo van Leeuwen menyatakan salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan suatu kelompok adalah media. Lewat pemberitaan terus-menerus disebarkan, media (Harian Sumut Pos dan Koran Sindo) secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai konflik UISU. 
Berita konflik UISU yang dibangun media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan mendeligitimasi dan memarjinalkan kelompok lain. Theo van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa konflik UISU dan aktor-aktor sosial tersebut ditampilkan dalam media, dan bagaimana suatu kelompok yang tidak punya akses menjadi pihak yang secara terus-menerus dimarjinalkan. Dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks. Di bawah ini akan diuraikan lebih detil persoalan tersebut satu persatu.




2.4.1. Pengeluaran (Exclusion) 
Ada beberapa strategi wacana yang berhubungan dengan bagaimana suatu aktor (seseorang atau kelompok) dikeluarkan dalam pembicaraan. Proses pengeluaran ini meliputi pasivasi, nominalisasi dan penggantian anak kalimat.
a. Pasivasi
Salah satu cara klasik yang merupakan pembuatan kalimat dalam bentuk pasif. Lewat pemakaian kalimat pasif, aktor sosial dalam konflik UISU dapat tidak hadir pada teks media, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kalimat yang berstruktur aktif. Bentuk kalimat pasif ini membuat khalayak pembaca tidak kritis.
b. Nominalisasi
Merupakan strategi wacana dengan merubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina). Umumnya dilakukan dengan memberi imbuhan “pe – an”. Ini ada hubungannya dengan transformasi dari bentuk kalimat aktif, yang selalu membutuhkan subjek. Kalimat aktif selalu berbentuk kata kerja, yang menunjuk pada apa yang (proses) oleh subjek. Artinya nominalisasi tidak membutuhkan kehadiran subjek yang bermakna tindakan/kegiatan menjadi kata benda. Penekanannya dalam suatu gejala umum adalah memberitahukan kepada khalayak pembaca bahwa telah terjadi sebuah peristiwa tindakan/kegiatan. Wartawan umumnya sering kali dan lebih senang memberitakan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan dengan bentuk tindakan. Dengan bentuk nominal umumnya lebih menyentuh emosi khalayak pembaca. Pembaca lebih senang karena digiring pada suatu asosiasi yang tampak dramatis, besar dan berlangsung secara sporadis, sehinggga secara tidak sadar media terhegemoni untuk menyembunyikan pelaku (individu/kelompok).
c. Pergantian Anak Kalimat
Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. Wartawan sering melakukan untuk efisiensi kata dalam pembuatan teks berita. Akan tetapi perubahan itu kemungkinan tanpa disadari oleh penulisnya membuat subjek tersembunyi dalam kalimat. 
Misalnya : 
Security memukuli mahasiswa UISU yang demonstrasi hingga babak belur.(tanpa anak kalimat). 
Untuk mengendalikan demonstrasi mahasiswa, maka security dilengkapi pentungan dan tameng, akibatnya seorang mahasiswa babak belur.(Anak kalimat).

2.4.2. Pemasukan (Inclusion)
Pengeluaran (inclusion) strategi wacana yang berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok yang bertikai di konflik UISU ditampilkan lewat pemberitaan. Proses pemasukan ini terdiri dari : :
a. Diferensiasi-Indiferensiasi  
Hadirnya peristiwa atau kelompok lain selain yang diberitakan itu, menurut van Leuuwen, bisa menjadi penanda yang baik bagaimana suatu kelompok atau peristiwa secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa kelompok itu tidak bagus dibandingkan kelompok lain. Strategi bagaimana suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus. Misalnya dalam pemberitaan mengenai demonstrasi mahasiswa, dapat dibandingkan dua kalimat berikut :
Indiferensiasi : 
Mahasiswa UISU dan masyarakat sekitar kampus sampai kemarin masih melanjutkan aksi.

Diferensiasi :
Mahasiswa UISU dan masyarakat sekitar kampus sampai kemarin masih melanjutkan aksi. Sementara tawaran Muspida plus yang menawarkan islah kepada Sariani Cs dan Helmi Cs tidak ditanggapi.
b. Objektivasi-Abstraksi  
Strategi apakah informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan petunjuk yang konkrit ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi.makna yang diterima khalayak akan berbeda, karena dengan membuat abstraksi peristiwa atau aktor yang sebetulnya kuantitatif berjumlah kecil dengan abstraksi dikomunikasikan seakan berjumlah banyak. Misalnya :
Objektivasi :
Mahasiswa telah 2 kali melakukan aksi ke Mapoldasu.
Abstraksi :
Mahasiswa telah berulang-kali melakukan aksi ke Mapoldasu.
c. Nominasi-Kategorisasi 
Bagaimana suatu kelompok dimarjinalkan atau dikucilkan dengan memberikan kategori atau label yang buruk. Kategori ini bisa macam-macam, yang menunjukkan ciri penting dari seseorang: bisa berupa status, bentuk fisik, dan sebagainya. Bandingkan, misalnya, dua kalimat berikut :
Nominalisasi :
Seorang mahasiswa ditangkap polisi karena kedapatan membawa senjata tajam.
Kategorisasi :
Seorang mahasiswa dari pihak Helmi Cs ditangkap polisi karena kedapatan membawa senjata tajam.
d. Nominasi-Identifikasi 
Bagaimana suatu kelompok, peristiwa, atau tindakan tertentu didefinisikan, dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas. Wartawan barangkali ingin memberikan penjelasan siapa seorang itu atau apa tindakan atau peristiwa itu. Akan tetapi, seringkali, dan hal ini harus dikritisi, pemberian penjelasan ini mensugestikan makna tertentu, karena umumnya berpa penilaian atas seseorang, kelompok, atau tindakan tertentu. Ini merupakan strategi wacana di mana satu kelompok, atau tindakan diberi penjelasan yang buruk sehingga ketika diterima oleh khalayak akan buruk pula. Bandingkan misalnya, dua kalimat berikut :
Nominasi :
Seorang wanita bugil, diduga sebelumnya berkencan
Identifikasi :
Kami juga menemukan di dalam kampus seorang wanita bugil, seperti usai berkencan di lantai III. 
e. Determinasi-Indeterminasi 
Dalam pemberitaan Konflik UISU sering kali aktor atau peristiwa yang disebutkan jelas tetapi seringkali juga tidak jelas (anonim). Anonimitas ini bisa jadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis, sehingga lebih aman untuk menulis anonim. Bisa juga karena ada ketakutan struktural kalau kategori yang jelas dari seorang actor sosial tersebut disebut dalam teks. Apapun alasannya, dengan membentuk anonimitas ini, ada kesan kesan yang berbeda ketika diterima oleh khalayak. Hal ini karena anonimitas, menurut van Leeuwen, justeru membuat suatu generalisasi, tidak spesifik. Ketika misalnya, disebut nama yang jelas (Usman, SE. MSi) disana arti menunjukkan spesifik, tetapi ketika di sebut orang dekat Sariani justeru tidak lagi bermakna tunggal, tetapi jamak. Mengesankan bahwa ada beberapa orang dekat Sariani yang terlibat kasus penyerangan kampus. Efek generalisasi ini makin besar kalau misalnya, anonim yang dipakai dalam bentuk plural, seperti banyak orang, sebagian orang, dan sebagainya.
f. Asimilasi-Individualisasi 
Strategi apakah aktor sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya ataukah tidak. Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita tetapi komunitasatau kelompok sosial di mana seseorang itu berada. Misalnya dalam suatu demonstrasi yang dilakukan Badan Aspirasi Mahasiswa (BAM) FISIP-UISU yang dipimpin oleh Agusman Saragih meminta polisi untuk mengusut tindakan premanisme di kampus UISU. Peristiwa itu dapat diberitakan dengan menyebut kategori mahasiswa dan premanisme secara jelas dapat juga diberitakan kumpulan mahasiswa sebagai berikut.
Individualisasi :
M. Agusman, S, Ketua BAM FISIP dalam pernyataan sikap meminta Kapoldasu untuk bertanggungjawab atas tragedi UISU.
Assimilasi
Kelompok Mahasiswa yang dikomandoi M. Agusman, S meminta kepolisian mengusut premanisme di kampus UISU
g. Assosiasi-Disosiasi 
Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah aktor atau pihak yang ditampilkan sendiri ataukah ia dihubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar. Ini seringkali terjadi dan tanpa kita sadari. Kalau ada preman yang memukuli mahasiswa, kita sering kali menilai secara khusus kasus tersebut juga menghubungkan dengan prilaku preman yang memang sering melakukan pemukulan berjiwa premanisme. Kalau Sariani ditetapkan sebagai tersangka penyerangan kampus UISU , kita juga menghubungkannya dengan peristiwa lain seperti penggelapan asset UISU (Koran Sindo17 Mei 2007). Tentu saja tidak ada hubungan antara penyerangan UISU dan Penggelapan Asset UISU, tetapi secara imajinatif dapat dihubungkan secara literer bahwa ini menunjukkan watak atau pola pemerintah Indonesia yang tidak tegas pada para pelaku penggelapan dana (koruptor). Elemen assosiasi ingin melihat apakah suatu peristiwa atau aktor sosial dihubungkan dengan peristiwa lain atau kelompok lain yang lebih luas. Dengan demikian, strategi membuat makna menjadi besar (glorifikasi), karena asosiasi terhadap membuat khalayak membayangkan dan menghubungkan secara imajiner dengan komunitas yang lebih luas. Sebaliknya diasosiasi wacana dikonstruksi lebih spesifik, lokal, dan berlaku hanya pada satu peristiwa saja.
Selanjutnya analisis proses eksklusion dan inklusion pemberitaan konflik UISU pada Harian Sumut Pos dan Koran Sindo akan diuraikan lebih detil persoalannya pada BAB IV skripsi ini.

 




















BAB III
PROFIL SURAT KABAR
 
3.1. Harian Sumut Pos
Sumut Pos adalah surat kabar harian di Indonesia milik grup Jawa Pos. Koran ini beredar setiap pagi di wilayah Sumatra Utara, khususnya Medan dan sekitarnya. Dengan format koran modern 7 kolom, koran ini terbit perdana pada 1 Oktober 2002 di bawah manajemen PT Media Medan Pers. Surat kabar ini berkantor di Graha Pena Medan, Jalan Sisingamangaraja No 134 Km 8,5, Medan Amplas. Motto : Terpercaya, Koran Semua Komunitas.
3.1.1. Sejarah dan Perkembangan Harian Sumut Pos 
 Sumut Pos sebelumnya adalah Radar Medan terbit pertama kali 1 Juni 1999 di kota Medan, tampil berani dan berbeda saat semua koran lokal di kota ini masih tampil dengan 9 kolom. Radar Medan koran lokal ’pemain baru’ tampil modern dengan 7 kolom sangat disambut baik oleh masyarakat Medan dan berkembang. Dalam perkembangannya Radar Medan memiliki ’adik baru’ yakni Radar Nauli’ yang mengakomodir semua berita dan geliat daerah di kabupaten/kota Sumatera Utara dan didistribusikan hanya di daerah.
Kemudian dalam perjalanannya, manajemen merubah nama Radar Medan menjadi Sumut Pos, yang merupakan perpaduan Radar Medan dengan Radar Nauli. Koran yang berpenampilan modern dan intelek ini terbit pertama kali 1 Oktober 2001. Setiap hari terbit 24 halaman dan berwarna, dan semakin kaya akan informasi local, nasional, internasional maupun Lifestyle-nya. Paling representatif bagi masyarakat Sumatera Utara tepat manjadi ‘mitra’ bisnis bagi kalangan usaha. 
Sumut Pos merupakan ‘keluarga kandung’ dari tahun 90-an Koran terkemuka di Indonesia yang merupakan Group Jawa Pos dengan kemampuan memimpin pasar (market leader) di daerah masing-masing.
Sumut Pos dapat menjamin tersedianya berita-berita nasional dan internasional yang ekslusif. Beritanya selalu “beda” dan lebih menarik dengan media lain yang “seragam”. Berita daerah dan dan metropolis dikerjakan para reporter yang tersebar di seluruh daerah dan disempurnakan redaktur profesional. Diharapkan pembaca mendapatkan berita “jernih” dan memuaskan tentang kondisi politik dan ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang kritis yang ingin maju.
Sumut Pos memprioritaskan kepercayaan masyarakat, karena itu, informasi dan penyajiannya dilakukan dengan mempertimbangkan rasionalitas dan emosionalitas penduduk Sumatera Utara yang heterogen.






3.1.2 Struktur Organisasi Harian Sumut Pos
1. Manajemen
Pembina Manajemen
Pembina Komisaris
Komisaris
Direktur Utama
 
2. Redaksi

Pemimpin Umum/Penanggungjawab
Wakil Pemimpin Umum/Pemimipin Perusahaan 
Pemimpin Redaksi /Penanggungjawab 
Wakil Pemimpin Umum Bidang Redaksi
Dewan Redaksi
Redaktur Pelaksana Kompartemen
Koordinator Liputan. 
Asisten Koordinator Liputan 
Redaktur
Ass. Redaktur
Sekretaris Redaksi
Wartawan 
Wartawan Daerah 
- Dept. Pracetak/Perwajahan - Dept. Umum/Adm/Keu/
- Dept. Pemasaran/Sirkulasi - Dept. Iklan
 Penasehat Hukum : A. Hakim Siagian, M.Hum
 
3. 2. Koran Sindo
KORAN SEPUTAR INDONESIA 
Motto :“Satu Koran Segala Berita”

3.2.1. Sejarah dan Perkembangan Koran Sindo
Di dalam tatanan negara maju, pers telah menjadi bagian yang sangat penting, karena pers memiliki kekuatan dan peranan strategis dalam mewarnai kehidupan ketatanegaraan. Pers berperan sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Kekuatan inilah yang mengantarkan pers pada urutan keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Oleh karenanya, agar kekuatan dan peran pers yang sangat besar itu tidak disalahartikan dan disalahtafsirkan, pers dituntut untuk menggunakan fungsinya dengan tepat, sesuai dengan standar jurnalisme yang benar. Pers juga harus memiliki peran penyeimbang agar tidak menjurus kearah trial by press. 
Inilah amanat yang akan dan harus diemban Koran Seputar Indonesia. Sebagai surat kabar baru yang lahir di tengah ketatnya persaingan penerbitan persuratkabaran di tanah air.
Koran Seputar Indonesia terbit perdana, pada 30 Juni 2005. Dilahirkan oleh PT. Media Nusantara Informasi (MNI), sub-sidiary dari PT. Media Nusantara Citra (MNC) yang menaungi RCTI, TPI, Global TV dan Trijaya Network. PT. MNC sudah sangat berpengalaman dalam mengelola media serta terbilang mapan dan berpengaruh, baik di kalangan masyarakat maupun pengambil keputusan.
Sebagai surat kabar baru, Koran Seputar Indonesia ditujukan untuk memudahkan sekaligus memenuhi kebutuhan pembaca dalam satu keluarga. Pada saat sang Bapak memilih news, sang Ibu bisa leluasa membaca lifestyle, sedangkan si Anak bebas membaca sport. Atau sang Bapak bisa membawa news ke kantor dengan meninggalkan lifestyle untuk dibaca Ibu di rumah, sementara si Anak memasukkan sport ke dalam tas untuk dibaca dalam perjalanan. Pendeknya, mereka bisa bertukar section tanpa harus mengganggu keasyikan masing-masing.
Koran Seputar Indonesia hadir setiap pagi dengan sajian berita-berita yang akurat, mendalam, penuh gaya dan warna. Koran Seputar Indonesia juga akan menyapa pembaca dengan sentuhan jurnalisme khas untuk selalu memberikan lebih dari sekadar berita. Apalagi ditunjang dengan kreatifitas visual yang progresif dan tidak konservatif, Koran Seputar Indonesia yakin akan menjadi media yang unik.
Sajian berita yang bersahabat, karena pemanfaatan bahasa dan image yang ramah (tidak berdarah-darah), aktual dan informatif, karena berita terkini disajikan dengan ringkas dan jelas dengan topik-topik yang hangat. Koran yang menghibur karena didukung oleh desain yang menarik dan tidak membuat kening berkerut. Mampu mengakomodasi Feature Lifestyle dan Infotainment sekuat berita. Sajian berita yang bersifat Non Partisan atau tidak memihak dan dapat dipercaya.
Koran yang bersifat Young and Friendly Newspaper, tercermin dari penggunaan bahasa yang renyah dan sarat dengan unsur partisipasi publik, dan mampu menyajikan gaya hidup yang meliputi in depth news, lifestyle, sport, dan entertainment. Terbit selama 7 hari selama 1 minggu, dengan format ukuran panjang 7 kolom dan tinggi 54 cm. Edisi Reguler terbit 40 halaman dengan 3 bagian/ section sedangkan Minggu terbit 40 halaman edisi akhir minggu. 
Target pembaca adalah masyarakat kelas menengah ke atas, pendidikan Sarjana, segmentasi usia dari 18 tahun sampai dengan 40 tahun. Dengan diferensiasi pembaca laki-laki sebanyak 60% dan pembaca wanita sebanyak 40%. Target distribusi Koran Seputar Indonesia adalah kota-kota besar di seluruh Indonesia dengan jumlah oplah sebesar 336. 000 pembaca.
Karakteristik pembaca memiliki kebiasaan membaca lebih dari satu surat kabar, karena tidak ingin tertinggal informasi penting dan informasi hiburan dalam waktu yang bersamaan. Termasuk kelompok masyarakat yang haus informasi dan inovatif sehingga mudah menerima hal baru.

3.2.2 Struktur Organisasi Koran Sindo
1. Redaksi
Pemimpin Umum 
Wakil Pemimpin Umum 
Pemimpin Redaksi /Penanggungjawab 
Redaktur Pelaksana 
Redaktur 
Koordinator Liputan. 
Asisten Redaktur 
Reporter 
Editor Bahasa 
Koordinator Fotografer
Fotografer
Manager Artistik 
Wakil Manager Artistik 
 2. Perusahaan
Pemimpin Perusahaan 
Direktur Pemberitaan 
Direktur Operasional 
Direktur Keuangan 
Wakil Direktur Sales & Marketing 
Wakil Direktur Operasional 
GM Sirkulasi & Distribusi 
GM Keuangan

Alamat Redaksi: Menara Kebon Sirih Lt. 22, Jalan Kebon Sirih Raya No. 17-19, Jakarta 10340.
Penerbit: PT Media Nusantara Informasi
 
Biro-biro : 
Jawa Barat, Purwakarta, Karawang, Bandung, Cimahi, Sukabumi, Sumedang, Tasikmalaya, Kuningan & Majalengka, Cirebon & Sumber, Subang, Cianjur, Ciamis & Banjar, Garut, Indramayu 
Biro Jawa Tengah & DIY, Semarang, Solo, Yogyakarta, Sleman, Bantul, Salatiga, Klaten, Sragen, Purwokerto, Magelang, Kendal, Tegal, Kudus: 
Biro Jawa Timur Surabaya, Gresik, Bojonegoro, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Kediri, Madiun, Jember, Banyuwangi, Madura
Biro Sumatera Utara : Medan, Deliserdang, Binjai, Langkat, Karo, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan
BAB IV
ANALISIS DATA


 Dari penelusuran penulis terhadap berita-berita yang dimuat Surat Kabar Sumut Pos dan Koran Sindo khususnya pemberitaan mengenai konflik UISU. Dari Sumut Pos dan Koran Sindo didapatkan beberapa edisi yang memuat berita tersebut dan relevan untuk dijadikan subjek penelitian. 

4. 1. Struktur Wacana
4.1.1. Proses Pengeluaran (Exclusion) 
Kecenderungan Sumut Pos lebih menampilkan narasumber dari pihak yayasan Sariani. Padahal dalam hal ini, pihak yang terlibat konflik sebenarnya tidak hanya Helmi Nst, tapi juga mahasiswa. Dari sisi fakta pemberitaan sebagian besar, miskin muatan demokrasi yaitu persamaan di depan hukum dan kebebasan mengeluarkan pendapat dalam aksi demonstrasi mahasiswa. Aktor sosial (aktivis gerakan mahasiswa) harus dikeluarkan dalam pemberitaan, apakah ini merupakan kesengajaan jurnalis, bahwa pernyataan sikap dan aksi mahasiswa pada tanggal 4 Desember 2006, kemudian menjadi momentum besar bagi demokratisasi di UISU. Sehingga dengan pemberitaan yang seenaknya memberikan pemaknaan “mahasiswa” kubu Helmi ataupun kubu Sariani. Dalam pemberitaan Sumut Pos 11 Mei 2007:
Jika dua hari lalu yang adu fisik kelompok Sariani dan Helmi, Kamis kemarin mahasiswa dan warga melakukan serangan balik. Dua kelompok saling lempar batu hingga dua jam lebih. Mahasiswa yang datang sekaligus menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus UISU meminta penguasa di kampus UISU untuk tidak melarang mahasiswa untuk masuk ke dalam kampus siang sekitar pukul 13.30 WIB.

Aksi demonstrasi yang dilakukan kawan-kawan dari Badan Aspirasi Mahasiswa FISIP UISU dan Aksi Solidaritas Mahasiswa UISU harus dikeluarkan dari pemberitaan, dengan generalisasi bahwa mahasiswa merupakan pihak dari kubu Helmi. Begitu juga Koran Sindo dalam pemberitaan tanggal 11 Mei 2007 :
Ratusan sekuriti pro-Sariani tiba-tiba masuk kampus dan menguasai kampus tersebut sejak Rabu pagi. Tak terelak, terjadi perlawanan dari mahasiswa dan massa pendukung Helmi sehingga menimbulkan korban luka di kedua pihak. Dari pengamatan SINDO kemarin, massa pendukung Helmi Bahrum Jamil awalnya menggelar orasi dan membakar ban persis di depan gerbang utama kampus. Asap yang mengepul membuat sekuriti mundur beberapa langkah dari gerbang itu. 
Akibatnya, independensi mahasiswa harus dikebiri di dalam teks berita, sehingga khalayak pembaca menilai aksi tersebut merupakan luapan kemarahan dan kekerasan tanpa rasionalisasi yang jelas. Pengeluaran atribut lembaga mahasiswa pada teks inilah mengakibatkan kedua media meminggirkan narasumber mahasiswa. Bercampurnya fakta dan opini dengan artian kedua media lebih banyak memberitakan persepsi atau pikiran dari pihak kepolisian, kubu Sariani. Begitu juga hasil pertemuan Muspida plus yang dikeluarkan dalam pemberitaan, padahal ini merupakan informasi yang sangat penting bagi khalayak, walaupun Gubernur Sumatera Utara merupakan bagian integral dari Muspida plus, tetapi tidak sedikitpun fakta dan informasi tertulis, dengan argumentasi rapat tertutup. Menjadi tanda tanya besar apakah kedua media ini, apakah menjadi penekan atau pendorong konflik dan kekerasan melalui pemberitaannya. 
Dengan kepentingan pragmatis pengelola kedua media, berakibat pada dinamika media jurnalisme yang tidak menjalankan fungsi imperatif bagi publiknya, melainkan bertolak dari kecenderungan subyektifnya sendiri maupun kepentingan subyektif pihak lain yang bukan khalayaknya. Sumut Pos dan Sindo tidak menjalankan fungsi imperatif sosial, tetapi lebih menjalankan fungsi organik dari institusi lainnya, seperti institusi politik dan bisnis.
Kelayakan berita Sumut Pos dan Sindo melalui unsur besaran (magnitude) sebagal nilai fakta dalam jurnalisme konvensional misalnya, menjadi dramatisasi kekejaman manakala menceritakan senjata sekuriti yang digunakan atau korban yang luka parah.
Dengan konsep jurnalisme damai, jurnalis Sumut Pos dan Sindo hanya mencari fakta konf1ik, sehingga menumpukan perhatian khalayak terhadap tindakan dari satu pihak yang bersifat kemanusiaan terhadap pihak lainnya. Kesadaran ini lahir karena memandang ruang publik telah menjadi ajang konflik UISU yang tidak kunjung reda. Tetapi konsep kelayakan informasi ditempatkan dalam dataran ruang publik yang didominasi anomali, dan lebih jauh perhatian ditujukan kepada fakta-fakta yang mengandung nilai humanitarian dan kultural. Kecenderungan media dalam memilih narasumber, sebagai titik tolak proses merekonstruksi fakta. Setiap narasumber perlu dinilai dari preferensi dan tingkat obyektifitas atau subyektifitasnya. 
Obyektifitas secara sederhana diartikan kemampuan melepaskan diri dari kepentingan dan orientasi subyektif. Lebih jauh adalah kemampuan jurnalis kedua media untuk memasuki ranah pihak lain dengan memahami posisi subyektif pihak lain tersebut. Tipe narasumber atau subyek pemberitaan semacam ini menjadi faktor untuk terwujudnya jurnalisme damai. Baru berikutnya melihat fakta dalam konteks ruang publik. Preferensi narasumber dapat diidentifikasi dari orientasi kepada salah satu oposisi binari nilai. Karena obyektifitas umumnya dilihat hanya dari preferensi media, padahal obyektifitas media beroperasi pada level teknis dengan azas keseimbangan, sementara obyektifitas suatu wacana akan lahir dari obyektifitas narasumber. 

1. Pasivasi 
Terbitan 10 Mei 2007, Harian Sumut Pos dan Koran Sindo, Sumut Pos. Harian Sumut Pos menyajikan berita dengan judul : Serangan Fajar di UISU dan Korban Luka-luka. Dalam berita tersebut disajikan dalam bentuk kronologis penyerangan dan identifikasi korban luka-luka.
“Pukul 05.05 : Mulai dari jalan sudah terjadi bentrok. Security pro Syariani menjebol gerbang utama dan menyeser kampus, mulailah bentrok berdarah pakai senjata tajam, batu dan benda tumpul.
Pukul 05.07 : 
Tim Poltabes MS menangkap setiap pemuda/mahasiswa yang berlari dan menggeledah badan serta menyita senjata tajam di luar kampus. Banyak yang terluka termasuk anggota polisi berpakaian preman.
Pukul 05.10-06.00: 
Security terus menyeser kampus, terjadi bentrok fisik, kaca gedung berpecahan, kursi dibakar, sepeda motor dirusak dan satu per satu yang tidak menggunakan pengenal versi Syariani babak belur digiring dari dalam kampus.”
  Koran Sindo menghadirkan berita Kampus UISU Dilanda Bentrok Berdarah dan Polisi Sterilkan Kampus UISU.
“Polisi juga meringkus seorang petugas keamanan dari kubu Hj Syariani bernama Syahmadi. Dia ditangkap karena kepemilikan senjata tajam. Tidak hanya itu, Mahdi sempat memukul polisi. Bentrokan juga menyisakan korban luka. Sedikitnya lima korban masih dirawat di RS Permata Bunda. 
Belasan menit kemudian, sejumlah orang berlarian keluar kampus dalam kondisi berdarahdarah. Sebagian lain diseret paksa meninggalkan kampus oleh kelompok penyerang. Aparat Polsekta Medan Kota yang bermarkas seratusan meter dari Kampus UISU tiba persis saat para sekuriti menyeret orang-orang dari dalam kampus.Aparat tak berbuat banyak,kecuali melarikan yang terluka ke RSU Permata Bunda. Bambang Hendra Gunawan (staf Keuangan UISU) dan Amiruddin (karyawan kantin) termasuk yang dilarikan ke rumah sakit oleh polisi. 
Sementara Syawaluddin, petugas jaga malam kampus, mencari pengobatan sendiri. Akibat pukulan rotan, Syawaluddin, 49, mengalami luka di kepala dan harus dirawat 15 jahitan. Kondisi Amiruddin lebih parah. Gigi pemuda 23 tahun ini rompal dan dari kepalanya terus mengalir darah segar. Sementara Bambang mengalami luka lebam di sekujur tubuh, termasuk wajah dan kepala. Hingga tadi malam, keduanya masih dirawat di RSU Permata Bunda. 

 Dalam pemberitaan berita disajikan dalam bentuk kalimat aktif. Di sini, aktor pelaku (security) disajikan dalam teks. sebaliknya, aktor atau pelaku dari pihak Helmi hilang dalam pemberitaan. Yang dikedepankan adalah objek, korban penyerangan. Akibatnya, pertama, aktor/pelaku hilang dari pemberitaan. Wartawan dan khalayak pembaca lebih tertarik untuk melihat korban daripada pelaku. Padahal, seperti dalam berita penyerangan tersebut, pelaku penyerangan terhadap korban adalah hal yang sangat penting yang sebetulnya layak diketahui oleh pembaca. Kedua, bentuk kalimat pasif yang menghilangkan pelaku penyerangan (oknum PT. Sena Perkasa) dalam kalimat juga bisa membuat khalayak pembaca tidak kritis. Orang hanya berfikir kepada korban daripada pelaku sebenarnya. Pelaku dapat bersembunyi, karena dapat bersembunyi, karena tidak mendapat perhatian yang memadai. 
 Dalam pemberitaan bentrokan mahasiswa, masyarakat dengan PT. Sena Perkasa (Hj. Sariani) 10 dan 11 Mei 2007 , media dan jurnalis Sumut Pos dan Koran Sindo, lebih kerap tampil sebagai juru bicara kepolisian Republik Indonesia dalam meydik terhadap saksi, tersangka dan korban, keterlibatan Sariani, Usman dan Zulfirman, SH pada bentrok terlihat sudah begitu meyakinkan. Identifikasi terhadap otak pelaku kerusuhan UISU, tidak diketahui sama sekali oleh jurnalis. Bagaimana Sariani mempersiapkan penguasaan UISU.
 Kedua media ini berhasil mengendus penyerangan dan penguasaan kampus dengan kekerasan 10 dan 11 Mei 2007, karena mempelajari pergerakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, POLTABES dan Polsekta Medan Kota. Andaikata tidak ada indikasi dari pergerakan polisi, kemungkinan besar media atau jurnalis, tidak bsa memberitakan apapun tentang siapa tersangka pelaku dan korban bentrokan sebelum pernyataan dari pihak kepolisian. Ketergantungan jurnalis/redaktur terhadap kepolisian terhadap peirstiwa sudah pada tingkat akut. Lebar dunia menjadi selebar daun kelor, arena liputan seluas area kampus UISU dan kantor polisi, misalnya mereka tidak lagi seteliti pustakawan, secermat peneliti, dan jurnalis sejati yang keingintahuannya mengalahkan informasi itu sendiri sudah diketahui. Bagaimana investigasi terhadap kasus penyalahgunaan kekayaan wakaf UISU oleh Yayasan UISU, penyimpangan peleburan Yayasan Adsari kepada Yayasan UISU sebesar Rp. 5.600.748.500, pinjaman 10 Milyar kepada Bank Syariah Mandiri, dan kewajiban audit Yayasan UISU. Kasus-kasus tersebut sampai hari ini belum dapat dipecahkan baik melalui palu hakim. Ini merupakan keresahan aktivis pro demokrasi di UISU dalam penegakan hukum. Kemudian, proses perubahan iklim akademis yang ilmiah, objektif dan demokratis, setelah pengusiran Yayasan UISU 04 Desember 2006, ini tidak menjadi pemberitaan. Bagaimana, penangkapan, pemecatan dan pengkebirian kreativitas mahasiswa selama kurun waktu 2006-2007. Inkonsistensi terhadap aturan yang tertera pada statuta UISU.
  Perkara narasumber, Koran Sindo terbitan 10 Mei 2007 menuliskan :
“….Sejumlah saksi mata menceritakan, sekitar pukul 05.00 WIB seratusan sekuriti tersebut tiba di depan gerbang utama, di sisi barat kampus,dengan menumpangi lima truk. Setelah seluruh sekuriti yang disebut-sebut beraksi demi kepentingan kubu Hj Sariani Amiraden Siregar ini turun, salah satu truk yang mereka gunakan langsung melaju kencang menabrak gerbang…. “

Pernyataan ini lebih sebagai opini jurnalis karena tidak mencantumkan identitasnya. Umumnya surat kabar yang mapan tidak melanjutkan draft berita apabila salah satu sumber atau identitas narasumber tidak jelas dan terang, atau berita tidak transparan. Laporan seperti ini sebagai laporan yang tidak bisa dipercaya. Sumber anonim rentan digunakan sebagai strategi jurnalis/redaktur untuk berpendapat tentang orang lain dalam konstruksi berita. 

2. Nominalisasi 
Harian Sumut Pos
11 Mei 2207  
”Saat terjadi pengambilalihan kampus oleh para preman yang disewa Yayasan UISU Pimpinan Helmi Nasution, kami terpaksa keluar.

“Jadi, para mahasiswa UISU jangan terjebak atas informasi bahwa kami melakukan penyerangan ke kampus UISU. Yang kami lakukan hanyalah mengusir para preman yang selama 6 bulan ini menguasai kampus. Kami juga membantah pada pengusiran itu mengakibatkan beberapa mahasiswa terluka,” kata Ketua Organisasi SDM Dewan Pengurus Harian Yayasan UISU Prof Dr Usman Pelly dalam keterangan persnya kepada wartawan di Medan, Kamis (10/5).

Pada teks berita, wartawan harian Sumut Pos menerima mentah-mentah informasi yang sangat bias, kata pengambilalihan sangat kontradiksi dengan kata penyerangan dan pengusiran yang identik dengan kekerasan muncul dalam benak khalayak. Kalaulah secara hukum Yayasan UISU yang dipimpin Hj. Sariani sah atau benar, mengapa harus memakai kata pengusiran, ini mengimplikasikan bahwa aparat kepolisian, membiarkan saja tindakan kekerasan dan premanisme yang dilakukan Yayasan UISU yang dipimpin Hj. Sariani. Atau pemaknaan preman dari pihak Helmi Nst dilegalkan secara hukum oleh aparat?. 
Lepas dari itu apa yang terungkap dalam berita di atas barangkali juga menggambarkan tentang kekuasaan Sumut Pos untuk menentukan apakah informasi sepihak itu layak dimuat atau tidak. Sehingga informasi yang merupakan fakta publik yang perlu diberitakan dalam konteks agar media dapat berperan sebagai media public watch dog atau tidak. Tetapi lebih karena adanya kepentingan pragmatis–ekonomis jurnalisnya sendiri.

Koran Sindo10 Mei 2007 :
Selain itu, pengamanan di sekitar kampus tersebut akan terus dilakukan hingga kondisi benar-benar aman. Guna mengantisipasi meluasnya pertikaian tersebut, Sukamto berjanji akan menindak tegas pihak yang menyebarkan isu provokatif. ’’Kalau ada yang mencoba memperkeruh suasana,kami tidak akan bertindak tegas,” tandas nya.

11 mei 2007
Penyerangan terhadap seratusan sekuriti yang menguasai kampus semakin mengganas.

18 Mei 2007
Aspan menjelaskan, dalam kasus penyerbuan 10 Mei lalu,pihaknya telah menahan 14 tersangka, 10 di antaranya sekuriti PT Sena Perkasa. Selain keterangan tersangka, pihaknya juga memeriksa 112 saksi dalam kasus kerusuhan tersebut. Dari keterangan-keterangan tersebut, penyidikan mengarah kepada Hj Sariani, Usman Nasution, dan Zulfirman. 
 
Wartawan Sindo lebih senang memberitakan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan dengan bentuk tindakan. Dengan bentuk nominal umumnya lebih menyentuh emosi khalayak pembaca. Pembaca lebih senang karena digiring pada suatu asosiasi penyerbuan yang tampak dramatis, besar dan berlangsung secara sporadis, sehinggga secara tidak sadar media terhegemoni untuk menyembunyikan pelaku intelektual di kedua belah pihak. Di sini, tindakan bertikai telah diubah fungsinya menjadi peristiwa/gejala pertikaian. Konteks semacam ini bisa dihilangkan karena bukankah yang ingin ditekankan adalah pertikaian Yayasan dalam pengelolaan wakaf menjadi gejala umum, atau pertikaian di Yayasan Islam sudah menjadi fenomena di banyak lembaga wakaf pendidikan Islam?. Oleh karena itu, tindakan pertikaian di satu kota, yang dilakukan oleh seseorang hanyalah menjadi bagian kecil dari gejala umum pertikaian dan konflik yang terjadi saat ini.
Secara tidak sadar media terhegemoni untuk menyembunyikan pelaku kekerasan yang seharusnya dibongkar dan diungkap. Aktor intelektual kekerasan di UISU dapat tenang-tenang saja, karena yang lebih menarik perhatian media adalah korbannya yaitu mahasiswa yang dirugikan, bukan pelaku.

3. Penggantian Anak Kalimat 
Harian Sumut Pos
''Kita menyetujui dengan catatan jangan siang hari mengingat masyarakat sekitar, setelah sekurity datang pasukan kita telah siaga, maka pihak sekurity masuk,dan tak terelakan lagi kerusuhan terjadi, " sebutnya.

Koran Sindo
Akibat pukulan rotan, Syawaluddin, 49, mengalami luka di kepala dan harus dirawat 15 jahitan

Peristiwa kedua ini menimbulkan lebih banyak korban luka. Polisi pun terpaksa melarikan 9 di antaranya, yaitu 6 mahasiswa dan 3 pelajar, ke RSU Permata Bunda.

Menurut Bambang,para penyerang secara membabi buta memukuli dan melempari siapa saja yang saat itu berada di kampus

Penggantian anak kalimat pada berita Sumut Pos dan Koran Sindo, dapat menggantikan aktor dan peristiwa. Setidaknya kepolisian telah mengetahui bahwa akan terjadi narasi kerusuhan demi kerusuhan yang bakal terjadi. Kesiagaan pada anak kalimat di atas menunjukkan polisi tidak ingin terlibat langsung dalam pengamanan dan peringkusan preman dari kubu Helmi (yang menjadi objek pemaknaan), hal ini menjadi bias dan manipulasi Sumut Pos dalam kronologis berita tanggal 10 Mei 2007. Padahal seharusnya setiap wartawan memiliki sikap skeptis yang mempertanyakan setiap informasi yang diperolehnya. Penulisan teks ini menunjukkan sikap tidak skeptis dan keberpihakan wartawan yang terhegemoni dengan narasumber pihak kepolisian, pihak Sariani, sehingga harus dikeluarkan dalam pemberitaan. Karena itu wartawan dengan sengaja mengabaikan duduk perkara dan aktor yang sebenarnya bertanggungjawab akan aksi kekerasan baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Wartawan umumnya percaya dan menganggap bahwa khalayak pembaca tahu siapa yang menganiaya korban-korban itu. Karena dianggap tahu, dan untuk efisiensi kata dan kalimat sehingga pelaku dan peristiwa sebagai fakta menjadi hilang dalam kalimat. 

4.1.2. Proses Pemasukan (Inclusion)
 Proses pemasukan (inclusion), yakni berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.
   
1. Diferensiasi-Indiferensiasi 
Sumut Pos 
Pukul 05.07 : 
Tim Poltabes MS menangkap setiap pemuda/mahasiswa yang berlari dan menggeledah badan serta menyita senjata tajam di luar kampus. Banyak yang terluka termasuk anggota polisi berpakaian preman.

Pukul 05.10-06.00: 
Security terus menyeser kampus, terjadi bentrok fisik, kaca gedung berpecahan, kursi dibakar, sepeda motor dirusak dan satu per satu yang tidak menggunakan pengenal versi Syariani babak belur digiring dari dalam kampus. 

Pukul 06.30 : 
Warga setempat marah karena kena lemparan batu, terganggu serta petugas jaga sebagian keluarga mereka. Akhirnya, saling melempar batu security-warga di gerbang kampus (di Jalan Turi). Kejadian ini berlangsung 1 jam lebih hingga anak SMU UISU dan mahasiswa datang. Kaca gedung berpecahan, anak SMU gagal ujian akhir sekolah.

Pukul 08.20 : 
UISU mencekam dan petinggi Poltabes berupaya menentramkan warga di sekitar Jalan Turi. 
Kamis, 10 Mei 2007 | 

Dalam kalimat di atas jelas dikatakan, pemuda/mahasiswa diindikasikan memiliki senjata tajam, warga yang marah dan terganggu serta siswa SMU dan mahasiswa yang anarkhis. Tepat pukul 08.20, secara tidak langsung membedakan antara sikap polisi. Teks ini memarjinalkan posisi mahasiswa dan warga yang diindeferensiasikan dalam satu kalimat, dengan menampilkan seakan warga dan mahasiswa ngotot untuk mengusir preman, melempari gedung hingga hancur. Di kalimat lain pelegalan pihak security PT. Sena Perkasa dengan leluasa menyeser dan menghajar siapa saja yang tidak memakai tanda pengenal. Dikatakan memarjinalkan karena teks itu memisahkan sedemikian rupa peristiwa sedemikian rupa. Sehingga yang harus ditentramkan adalah warga, pemuda dan mahasiswa. Penggambaran santunnya polisi yang hanya berdialog kepada pihak mahasiswa dan tidak represif terhadap PT. Sena Perkasa. 


Diferensiasi juga terdapat pada dua paragraf di bawah ini :
Setelah mendapat jawaban tersebut pengunjuk rasa kembali ke UISU. Mereka meminta kepada kelompok security di dalam tidak melarang mereka masuk ke dalam kampus, sambil mendobrak pintu pagar. Security di dalam mencoba menghadang. Untuk menghalau massa yang mendobrak pintu pagar, kelompok di dalam kampus melempar massa dengan batu dan disambut dengan lempar batu balasan. Tak dapat dihindari saling lempar melempar pun berlangsung. Hujan batu berlangsung dua jam Jalan Sisingamaraja depan kampus lumpuh total. Tandingan securiti di dalam kampus setiap waktu terus bertambah hingga jumlah mencapai ribuan. Tidak saja dari kalangan mahasiswa dan warga setempat bahkan masyarakat yang menjadi korban sasaran batu ikut membalas serangan ke arah security. Selama itu tak satu pun polisi berpakaian dinas berada di tengah lokasi untuk mengamankan situasi.
Dari pihak Yayasan UISU Pimpinan Hj Sariani AS membantah keras pihaknya disebut melakukan penyerangan ke kampus UISU pada Rabu (9/5), apalagi diberitakan terdapat beberapa mahasiswa yang terluka. Menurut mereka, bentrok di UISU merupakan proses pengusiran secara legal untuk mengambil alih kampus yang dikuasai sekelompok orang yang oleh kelompok Sariani disebut dengan preman selama 6 bulan ini.


Koran Sindo
Sekuriti PT Sena Perkasa balas menyerang dan memukulkan rotan berukuran 1 meter ke siapa saja yang mendekat. Peristiwa kedua ini menimbulkan lebih banyak korban luka. Polisi pun terpaksa melarikan 9 di antaranya, yaitu 6 mahasiswa dan 3 pelajar, ke RSU Permata Bunda. Rata-rata mengalami luka di bagian kepala dan punggung. Seusai dirawat,mereka diboyong ke Markas Polsekta Medan Kota untuk dimintai kesaksian. Bentrokan kedua ini berlangsung hanya setengah jam. 
Mahasiswa dan siswa SMU UISU bergerak menjauh setelah dihalau polisi. Namun, satu setengah jam berselang, persisnya pukul 09.30 WIB, mahasiswa dan pelajar SMU UISU kembali mencoba memasuki kampus. Kali ini, mereka mendapat dukungan warga sekitar kampus. Bentrokan ketiga ini jauh lebih keras dibandingkan dua kejadian sebelumnya. Kubu sekuriti sempat terdesak lantaran lawannya semakin banyak.Tiga di antaranya bahkan terluka.

Sumut Pos, begitu memberikan keleluasaan kepada pihak Sariani untuk mengklarifikasi dan membantah tindakannya. Di ranah pendidikan tinggi apakah layak tindakan anarkhis dan premanisme dilawan dengan aksi yang sama dan lebih berutal, ketidaknyamanan kampus dikarenakan tertutupnya akuntabilitas penggunaan harta wakaf. Ditandai dengan minimnya fasilitas kampus seperti laboratorium, perpustakaan, ruang publik untuk mahasiswa agar dapat berdiskusi dengan membangun peradaban ilmu di suatu perguruan tinggi, banyaknya dosen yang nyambi mengajar ke universitas lain dan lemahnya pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sentralisasi dan intervensi terhadap pelaksanaan akademik dan pengelolaan keuangan, sehingga perseteruan Rektorat dan Yayasan tidak dapat diselesaikan. Ditambah lagi dengan arogansi pihak Yayasan UISU yang mendropout aktivis mahasiswa, kurun waktu 2004-2007, 6 mahasiswa di drop-out, 40 mahasiswa memperoleh surat panggilan agar menghentikan aktivitas demokrasi baik di internal UISU maupun dalam mengkritisi kebijakan pemerintah di luar kampus. Koran Sindo, pada pemberitaan 13 Mei 2007, berusaha memasukkan mahasiswa, pelajar dan warga sekitar kampus melakukan tindakan perlawanan tanpa klaim kubu Helmi, setelah pemberitaan sebelumnya mengajak khalayak bahwa massa tersebut merupakan kubu Helmi. 


2. Objektivasi-Abstraksi 
Koran Sindo13 Mei 2007
Hingga kini, ratusan aparat kepolisian yang terdiri atas Polsekta Medan dan Mapoltabes Medan dikerahkan menjaga pintu masuk kampus.

Sayang,aparat yang jumlahnya mencapai ribuan personel ini tak langsung melakukan penetrasi ke dalam kampus guna mengendalikan suasana agar kegiatan belajar bisa berlangsung. 

Dalam kalimat pertama disebutkan sesuatu yang abstrak “ratusan”, dan pada kalimat kedua “ribuan”. Khalayak akan mempersepsikan lain antara yang disebut secara jelas dengan yang dibuat dalam bentuk abstraksi. Penyebutan dalam bentuk abstraksi ini, barangkali bukan disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang pasti, tetapi lebih sebagai strategi wacana wartawan untuk menampilkan aktor polisi sebagai penggambaran sikap polisi polisi yang lamban dalam mengantisipasi bentrokan antara masyarakat dan sekuriti PT. Sena Perkasa. Sehingga dalam tindakan kepolisian bukan berarti wartawan tidak mengetahui jumlah pasti personil kepolisian, abstraksi “ratusan” atau “ribuan” dipakai untuk menggambarkan bagaimana tindakan kepolisian itu diikuti oleh sedemikian besar orang. 

3. Nominasi-Kategorisasi 
Dalam pemberitan konflik UISU mengenai aktor (seseorang/kelompok) ditampilkan apa adanya, ataukah yang disebut kategori dari aktor sosial tersebut. Kategori ini bisa macam-macam, yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.
SumutPos :
..mahasiswa dan pemuda rekrutan Helmi Cs berada di dalam kampus dan luar kampus (Jalan SM Raja), ada yang begadang membakar ban bekas.(10/05/2007)

Pemberitaan kategori “rekrutan Helmi Cs” sama sekali tidak merupakan tambahan informasi yang berguna siapa sebetulnya mahasiswa dan pemuda. Secara tidak langsung berita mangasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa mahasiswa rekrutan Helmi memang identik dengan anarkhis, preman. Karena kategori ini menujukkan representasi bahwa suatu tindakan begadang, membakar ban menjadi cirikhas atau atribut yang selalu hadir bagi seluruh mahasiswa yang ada di kampus UISU sesuai dengan kategori tersebut.

Menyikapi tragedi Rabu kelabu di Kampus UISU, Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Sumatera Utara (IKA UISU) Rafriandi Nasution SE MT meminta Pempropsu, Kopertis dan aparat kepolisian untuk menjamin terpeliharanya proses belajar mengajar di Kampus UISU secepatnya.(10/05/2007)


Rafriandi Nasution, SE, MSi, ditampilkan setelah peristiwa bentrokan, SumutPos merepresantasikan beliau sebagai ketua Ikatan Alumni UISU yang dikukuhkan pada bulan Februari 2007, ketika kubu Helmi menduduki kampus UISU. Hal ini melemahkan Sumut Pos, dalam memilih narasumber/aktor sosial konflik UISU, semestinya Rafriandi telah mengetahui bakal terjadi peristiwa bentrok tersebut, paling tidak dapat meminimalisir agar tidak terjadi peristiwa tersebut. Sumut Pos, dalam pemberitaan di atas telah mengkategorisasikan bahwa ada hal yang tersembunyi (latent) dan kepentingan pengelolaan kampus UISU agar diambil alih pemerintah, sehingga bentrok tersebut merupakan tindakan yang pantas dilakukan dan memang direncanakan. 

Koran Sindo 
Bambang Hendra Gunawan (staf Keuangan UISU) dan Amiruddin (karyawan kantin) termasuk yang dilarikan ke rumah sakit oleh polisi. 
Sementara Syawaluddin, petugas jaga malam kampus, mencari pengobatan sendiri.(10/5/2007)

Bambang Hendra Gunawan ditampilkan sebagai staf Keuangan UISU dari kubu mana? kategorisasi institusi/lembaga ini menggambarkan kepada khalayak yang tidak kritis akan tergiring bahwa pegawaipun menjadi korban penganiayaan, adakah staf keuangan bekerja sampai pagi?, teks menampilkan Bambang Hendra Gunawan adalah staf keuangan Yayasan UISU versi Helmi. Strategi wacana ini digunakan awak Sindo yang hanya mengambarkan korban sebagai objek kekerasan, dan hal ini lebih mendramatisir pemberitaan.

Nominasi dan kategorisasi juga terdapat pada pemberitaan Sumut Pos di bawah ini dengan aktor (narasumber) Halim Direktur PT. Sena Perkasa :
Ini bisa kami buktikan. Saat kami masih di luar kampus saja, api sudah berkobar di dalam kampus. Dan saat kami masuk, ruang kantor Yayasan dan biro kantor fakultas sudah banyak yang rusak. Bahkan, kami juga menemukan di dalam kampus seorang wanita bugil, seperti usai berkencan di lantai III” katanya.(10/05/2007).

 Dalam teks berita di atas, pemberitaan kategori apapun tidak menambah informasi khalayak mengenai siapa diri si wanita tersebut. Yang menarik justeru bagaimana kategori yang dipakai oleh wartawan Sumut Pos yang dapat menunjukkan hendak kemana berita mengenai tindakan “kencan” tersebut. Informasi seperti ini tidak relevan dalam konteks pemberitaan konflik UISU. Bahkan ini bisa menimbulkan prasangka tertentu ketika diterima oleh khalayak.

 
4. Nominasi-Identifikasi  
 Sumut Pos
Security terus menyeser kampus, terjadi bentrok fisik, kaca gedung berpecahan, kursi dibakar, sepeda motor dirusak dan satu per satu yang tidak menggunakan pengenal versi Syariani babak belur digiring dari dalam kampus. (10/05/2007)

Dari teks berita di atas pada proposisi kedua ini wartawan barangkali ingin memberikan penjelasan akan tindakan security versi Sariani yang melakukan pengusiran terhadap kubu Helmi, pemberian penjelasan ini mensugestikan makna bahwa siapapun yang di dalam kampus pada saat kejadian adalah orang-orang dari kubu Helmi, dan wajib “dibantai”. Padahal orang-orang yang di dalam kampus yang memakai tanda pengenal Sariani, atau tidak bukanlah alasan untuk melakukan tindakan kekerasan. Sehingga yang umumnya mereka yang tidak paham menjadi sasaran. Ini merupakan strategi wacana di mana Sariani cs diberi penjelasan yang buruk, sehingga ketika diterima khalayak akan buruk pula. Pemberitaan demikian mengajak masyarakat sekitar kampus dan mahasiswa mengutuk tindakan tersebut. Jadi tidak ada hubungan bahwa masyarakat dan mahasiswa yang menyerang balik sebagai pemihakan terhadap kepentingan Kubu Helmi.
 

5. Determinasi-Indeterminasi 
 Dalam pemberitaan konflik UISU Sumut Pos maupun Sindo menampilkan aktor atau peristiwa disebutkan secara jelas, tetapi ada juga yang tidak jelas (anonim). Anonimitas ini bisa jadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis, sehingga lebih aman menulis anonim. Bisa juga karena ada ketakutan struktural kalau kategori yang jelas dari seseorang atau aktor sosial disebut dalam teks. Apapun alasannya, dengan membentuk anonimitas ini, ada kesan yang berbeda ketika diterima oleh khalayak. 
 Sumut Pos
 Indeterminasi 
 Kapoltabes Medan AKBP Bambang Sukamto bilang, untuk sementara kampus UISU dikosongkan serta tidak ada satu pun dari kelompok berada di dalamnya

  
 Determinasi …
 ..mahasiswa dan pemuda rekrutan Helmi Cs berada di dalam kampus dan luar kampus…
 … Tim Poltabes MS menangkap setiap pemuda/mahasiswa yang berlari dan menggeledah badan serta menyita senjata tajam di luar kampus

 Sindo
 Indeterminasi :
Polisi juga meringkus seorang petugas keamanan dari kubu Hj Syariani bernama Syahmadi. Dia ditangkap karena kepemilikan senjata tajam. Tidak hanya itu, Mahdi sempat memukul polisi. 

Menurut Bambang,para penyerang secara membabi buta memukuli dan melempari siapa saja yang saat itu berada di kampus. Hal ini dibenarkan oleh Amiruddin yang dirawat di ruangan sama. Setelah menyisir semua ruangan kampus tertua di Sumut itu, sekuriti PT Sena Perkasa pun melakukan pemblokadean. Mereka terus siaga di dalam kampus, sementara aparat kepolisian hanya berjaga-jaga di Jln Turi, sisi utara kampus. 

Determinasi 

KAMPUS UISU bergejolak. Pemicunya,rebutan kekuasaan antara kubu Helmi Bahrum Jamil Nasution dengan kubu Sariani dalam mengelola kampus tertua di Sumatera Utara ini. Kubu Sariani diduga mengerahkan sekuriti dari PT Sena Perkasa untuk melakukan pengosongan di lingkungan kampus. Namun, mahasiswa UISU justru melawan arogansi sekuriti tersebut hingga berbuntut bentrokan berdarah yang menyebabkan sedikitnya belasan mahasiswa terluka. Berdasarkan informasi yang dihimpun, sekitar pukul 05.00 WIB, ratusan sekuriti tiba di depan gerbang utama UISU, di sisi barat kampus dengan menumpang lima truk.Tanpa basa basi,satu dari lima truk itu langsung melaju kencang kemudian menabrak gerbang kampus. 
Mereka pun dengan leluasa merangsek masuk ke dalam wilayah otoritas kampus, yang sebelumnya dikendalikan orang-orang dari kubu Helmi.


 Pada teks yang mengandung indeterminasi, di sana arti terhadap aktor yang ditunjuk spesifik dan jelas. Efek generalisasi dalam penulisan determinasi teks menjadi jelas dan kentara. Aktor “polisi” ditampilkan bimbang dan ragu, apakah itu merupakan stigma ketidakprofesionalan polisi, atau polisi memang terlibat langsung dalam melanggengkan kekerasan yang dilakukan kubu Sariani. Dengan segala cara Sariani dengan kekuatan modal yang dirampas dari harta wakaf UISU, menutup mulut para penegak hukum hingga melakukan tindakan kekerasan. Di sini penulis menspesifikkan dan bukan mengasosiasikan empat kasus masalah penggelapan dana yang dilakukan kroni Sariani, sudah dilaporkan di Kejatisu dan Poldasu sejak tahun 2006. Kedua media, apakah tidak tertarik menginvestigasi kasus ini, sampai dimana kasus tersebut sudah berjalan atau sama-sama mendinginkan pengaduan kasus ini. 
6. Asimilasi-Individualisasi
 Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita, tetapi komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang tersebut berada.
 Sumut Pos
Mahasiswa yang dikomandoi M Agusman S ini meminta kepolisian mengusut premanisme di kampus UISU. Kemudian meminta Kapoldasu bertanggungjawab atas tragedi kemanusian 9 Mei yang melukai 10 pegawai UISU kemarin.


Kalimat pertama adalah bentuk individualisasi dan asimilasi, karena kategori mahasiswa disebut secara jelas. Dalam kalimat di atas yang diacu adalah komunitas yang bernama “mahasiswa”, sehingga mengesankan banyak mahasiswa yang menjadi korban. Demikian halnya dengan polisi dikesankan tidak tegas dalam mengendalikan massa. Dalam kalimat yang sudah mengalami proses asimilasi, lebih cepat berpengaruh dalam kesadaran publik.
Sindo 

…mahasiswa dan pelajar SMU UISU kembali mencoba memasuki kampus. Kali ini, mereka mendapat dukungan warga sekitar kampus. Bentrokan ketiga ini jauh lebih keras dibandingkan dua kejadian sebelumnya

 Pada kalimat di atas perangkat bahasa yang bisa jadi memancing dan bisa menipu khalayak. Karena tidak semua mahasiswa dan pelajar ataupun tokoh-tokoh Islam yang setuju, bahkan ada yang diantaranya mengutuk. 
 
 Terpisah pimpinan Majelis Taklim Jabal Noor KH Zulfikar Hajar Lc menyesalkan 'UISU berdarah' dalam perebutan kampus UISU tersebut. ''Kejadian memalukan yang mencoreng citra pendidikan Islam di Sumut,'' katanya. 

Di sini, bagaimana strategi wacana yang dipakai bisa menimbulkan pemaknaan yang berbeda pula. Teks dapat menciptakan komunitas imajinatif di antara mahasiswa. Apa yang dialami oleh mahasiswa UISU yang teridentifikasi kampus Islam, akan dirasakan juga oleh mahasiswa lain baik di Sumatera Utara maupun di seluruh Indonesia. Komunitas imajinatif tersebut dalam bentuknya yang ekstrim akan memunculkan perasaan solidaritas di antara sesama mahasiwa dan umat Islam yang tersentuh dan marah atas peristiwa penyerangan tersebut. Dengan menyebut secara langsung pihak-pihak yang terlibat dalam konflik UISU yang dimaknai Sumut Pos dan Sindo. Pemaknaan kata seperti itu, meskipun menunujkkan pihak yang terlibat tetapi tidak secara langsung menarik semua garis konflik ke dalam konflik perebutan Yayasan. Semua korban dan pelaku selalu ditarik dalam dua batas “Helmi” dan “Sariani”. 
Pemakaian kata-kata seperti ini, membuat kita tidak bisa mengidentifikasi setiap kasus dan pelaku/korbannya, karena selalu ditarik ke dalam kelompok (komunitas). Sehingga asimilasi dalam pemberitaan konflik UISU mengkonstruksi dengan pertanyaan apakah seseorang memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai kelompok (komunitas).
   

7. Assosiasi-Disosiasi
Sumut Pos
  Bara Gugat di Kampus Munawwaroh


  20 April 2006 
  Pengadilan Negeri (PN) Medan mengeluarkan putusan No. 
  435/Pdt.G/2005/PN. Mdn yang memenangkan Ketua Umum Pengurus 
  Harian Yayasan UISU (PHYU) Medan Hj Sariani Arimaden Siregar 
  atas gugatan mantan Rektor UISU Prof Usman Nasution. 

  *Awal perseteruan ini bermula dari pemberhentian Rektor UISU 
  periode 2004 - 2008 Prof Dr Usman Nasution. Pemberhentian 
  Usman ini dikarenakan Usman tidak membentuk Senat Universitas 
  UISU lebih setahun sejak terpilih 7 Juni 2004, dalam statuta 
  disebutkan, tugas pertama yang harus dilakukan rektor terpilih 
  yaitu membentuk Senat Universitas. 

  *Alih-alih membikin senat, Usman kemudian mengangkat Pembantu 
  Dekan (PD) FKIP UISU, memberhentikan Dekan dan PD Fakultas 
  Kedokteran serta mengangkat Pembantu Rektor I, II dan II. 
  Mahasiswa pun bereaksi atas kebijakan Usman tersebut. Yayasan 
  kemudian turun tangan. Pasalnya, Usman bertindak tanpa 
  pertimbangan senat dan persetujuan Yayasan. Melalui surat No. 
  203, 240, 251 dan 263 yang dikeluarkan mulai Juni hingga Juli 
  2005, Yayasan kemudian mengundang Usman untuk membicarakan 
  kebijakan Usman. Tiga hari sebelum putusan 1 Oktober 2005, Hj 
  Sariani mengundang Usman secara lisan. Tak mendapat tanggapan, 
  akhirnya Yayasan pun mengeluarkan SK No.92/2005 tentang 
  pemberhentian Usman. Usman tak terima dan mengadukan masalah 
  ini ke Pengadilan Negeri. Dalam gugatannya, Usman menyatakan 
  PH Yayasan UISU tidak berhak mengeluarkan putusan karena masa 
  jabatan PH telah berakhir per 11 Oktober 2004. 

  *Dalam putusannya, ternyata Majelis Hakim memenangkan 
  dalil-dalil hukum yang dikeluarkan oleh Yayasan UISU pimpinan 
  Hj Sariani. Di antara fakta-fakta yang terdapat dalam putusan 
  PN itu disebutkan, masa kepengurusan PH UISU ternyata telah 
  diperpanjang berdasarkan Keputusan rapat Dewan Pimpinan 
  Yayasan UISU tanggal 20 Nopember 2004 sehingga PH tetap berhak 
  mengeluarkan putusan pemberhentian Usman. 

  *Dalam catatan terakhir putusan itu juga disebutkan, putusan 
  PN tersebut telah berkekuatan hukum tetap bila penggugat (Prof 
  Usman Nst) dan tergugat (Yayasan UISU)) tidak ada mengajukan 
  upaya hukum banding hingga tanggal 15 Juni 2006

  *Yayasan Sariani mengangkat Yunus Rasyid sebagai Pjs Rektor 
  UISU.

  3 Oktober 2006
  Perwakilan putra-putri pendiri Yayasan UISU yang tergabung 
  dalam Forum Putra-putri Pendiri (FPP) UISU dengan pengesahan 
  akte Teguh Perdana Sulaiman No 02 tahun 2006 itu mendatangi 
  gedung dewan guna meminta dukungan moral agar kekisruhan di 
  UISU termasuk dugaan korupsi yang terjadi di UISU, segera 
  dituntaskan. FPP UISU yang diketuai Ir Helmi Bahrum Jamil dan 
  Sekretaris ndra Gunawan Sabruddin merasa bertanggungjawab atas 
  kebaikan UISU.

  13 Desember 2006 
  FPP UISU Gugat Yayasan UISU
  Perpecahan itu berpindah kepada saling gugatnya antara 
  pengurus baru Forum Putra-putri Pendiri Universitas Islam 
  Sumatera Utara (FPP UISU) dengan Yayasan UISU. 

  Diantaranya, kasus jual-beli SMU UISU dan tindakan pengurus 
  lama mengagunkan yayasan UISU ke salah satu bank untuk 
  mendapatkan pinjaman Rp10 Miliar. FPP UISU yang baru ini, juga 
  baru ditetapkan kemarin berdasarkan Akte Teguh Sulaiman. Dalam 
  akte yang baru, Sariani dan Sabaruddin Ahmad juga sebagai 
  pengurus. 

  14 Desember 2006 
  Yayasan UISU Tempuh Jalur Hukum
  Di tempat terpisah, pihak yang digugat juga balik engancam. 
  Aksi demo tersebut juga dinilai telah menimbulkan kekacauan 
  yang mengganggu ketertiban, keamanan dan kedamaian serta 
  kekondusifan Kampus Al Munawwarah UISU yang Islami. Karenanya, 
  Pengurus Harian Yayasan UISU telah menempuh jalur hukum untuk 
  mengantisipasi hal-hal yang tak dinginkan.

  Yayasan UISU berdasarkan Akta Pendirian Yayasan UISU Akta 
  Soetan Paroehoem No. 63 tanggal 21 Juni 1952, yang telah 
  diubah beberapa kali, terakhir Akta Notaris Djaidir SH No. 11 
  tanggal 9 November 2000, tidak pernah mengadakan rapat untuk 
  melakukan perubahan dan penyempurnaan organ Yayasan atau 
  kepengurusan Yayasan UISU. 

  23 Januari 2007
  Hasil rapat pertimbangan senat UISU dari kelompok Sariani 
  menghasilkan pemilihan calon Rektor periode 2007-2011, H Usman 
  SE, Msi memperoleh suara terbanyak (30 suara) mengalahkan 
  saingannya Dr Ir Muhammad Asa'ad Msi (sembilan suara) dalam 
  pemilihan kampus Almunawwarah UISU Gedung Laboratorium 
  Fakultas Pertanian UISU Jalan Karya Wisata Gedung Johor,Medan. 


  Pertimbangan senat UISU untuk pemilihan Calon Rektor UISU masa 
  jabatan 2007-2011, dihadiri 39 orang anggota senat Universitas 
  dari 48 orang yang terdaftar sebagai senat universitas yang 
  sesuai dengan SK PH Yayasan UISU nomor 01 Tahun 2007 .


  10 Februari 2007
  Rektor UISU Chairul Mursin Jalankan Tugas

  *Rektor UISU dr Chairul M Mursin SpAn bilang pemilihan dirinya 
  menjadi rektor UISU sudah sesuai prosedur dan tidak menyalahi 
  aturan apapun. Sebab dirinya diangkat setelah Kopertis 
  menyarankan agar UISU segera mengangkat seorang Rektor 
  definitif dari kalangan Yayasan karena masa kepengurusan Hj 
  Sariani AS telah habis sejak tahun 2004 yang lalu. 

  *Chairul pengangkatan dirinya menjadi rektor UISU bermula dari 
  pemecatan rektor UISU Profesor Doktor Usman. Pemecatan itu 
  menurut Chairul cacat hukum karena tidak melakukan rapat dewan 
  senator. 

  *Ia bilang pengangkatan Pjs Rektor Yunus Rsyid juga cacat 
  hukum, karena apabila rektor turun, maka yang harus 
  menggantikannya adalah Pembantu Rektor I. Sedang Yunus Rasyid 
  tidak menduduki jabatan tersebut. Karena cacat hukum maka 
  Kopertis tidak mengakui kepengurusan UISU saat itu. 

  *Saran saya mari kita bawa dulu gerbong UISU ini agar proses 
  belajar-mengajar berjalan dengan baik. Soal kereta api yang 
  bernama UISU ini milik siapa, biarkan pengadilan yang 
  menentukan.

  5 Maret 2007
  Yayasan UISU Sariani menganggap Kopertis salah mengartikan 
  surat edaran Dikti dengan mengakui Prof Basyarudin sebagai 
  pelaksana Rektor. Basyaruddin ialah Purek I versi Prof Usman 
  Nasution yang dipecat Sariani tahun 2005 dan sempat menjabat 
  sebagai Purek I di masa Pjs Rektor Yunus Rasyid. 

  4 April 2007
  Kopertis Wilayah I NAD-Sumut mengeluarkan instruksi kepada 113 
  Dosen Kopertis Wilayah I Dpk pada UISU. Instruksi Kopertis 
  Wilayah I NAD-Sumut dengan No 075/O01.1.1/TU/2007 meminta 
  kepada 113 Dosen Kopertis Wilayah I Dpk pada UISU dalam 
  menjalankan tugas pokok sebagai dosen pegawai negeri sipil 
  yang dipekerjakan di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) 
  dapat menyesuaikan dengan surat Direktur Jenderal Administrasi 
  Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik 
  Indonesia Nomor: C.HT.01.10-14 tanggal 3 April 2007 yang 
  berisikan Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara Medan 
  (Yayasan UISU) pimpinan Hj.Sariani Amiraden Siregar adalah 
  Yayasan yang diakui sebagai badan hukum yang sah.

  25 April 2007
  Rektor UISU Prof Usman menyebutkan untuk kegiatan administrasi 
  dan kebutuhan kampus UISU masih didanai dari Yayasan UISU 
  pimpinan Sariani.

  2 Mei 2007
  Tiga Petinggi UISU versi Helmi Ditangkap
  Poldasu mengambil langkah tegas mengatasi 
  konflik internal UISU. Tiga petinggi UISU versi Helmi, RS, SY 
  dan IG ditangkap Direktorat Reskrim Poldasu. Ketiganya dijerat 
  undang undang berbeda. Tiga pengurus UISU yang ditangkap itu 
  melanggar ketentuan yang ada di Yayasan UISU dan berbuntut 
  pidana. Bagi RS dan SY kata Ronny dalam kasus ini dituduh 
  telah memberikan keterangan palsu akta otentik No II atau 
  menggunakan akte yang dibuat berdasarkan keterangan palsu 
  sesuai dengan pasal 266 ayat II KHUPidana.

  9-10 Mei 200 
  Kelompok Sariani-Helmi bentrok di Kampus UISU.

Sindo
Perlu diketahui, konflik antara kubu Helmi dan Sariani sebenarnya sudah terjadi bertahuntahun, namun baru mengemuka pada 3 Desember 2006. Sariani dalam akta pendirian tercatat sebagai Sekretaris Yayasan dan belakangan menjadi Ketua Yayasan. Namun, mahasiswa melakukan unjuk rasa dan meminta Sariani beserta rektor diganti, alasannya Sariani diduga melakukan korupsi. Aksi tersebut membuat aktivitas belajar dan mengajar di UISU terhenti selama sebulan. Selanjutnya, keluarga Bahrum Jamil Nasution,salah satu pendiri yayasan,mengambil alih pengelolaan yayasan dan mengangkat Helmi sebagai Ketua Yayasan menggantikan Sariani. Kubu Helmi merasa berhak mengendalikan UISU. Mereka berpijak pada akta Notaris Teguh Perdana Sulaiman No 02 tertanggal 13 Desember 2006. 
Akta ini merupakan pembaruan akta sebelumnya, yang diterbitkan Notaris Hasan Sutan Paroehoem Pane No 63/1952. Akan tetapi, klaim Helmi ini sudah dimentahkan oleh Keputusan Menkumham RI Nomor C.HT.01.10.04 tanggal 31 Januari 2007.Keputusan ini ditandatangani Dirjen Administrasi Depkumham DR Manan Sinaga SH MHum. (zailani/suharmansyah/rija n irnando/maria c malau)  

Secara imajinatif dapat menghubungkan secara literer bahwa konflik UISU menunjukkan watak atau pola penegak hukum dan pemerintah Indonesia yang tidak tegas pada para pelaku penggelapan dana Yayasan UISU dan kepastian hukum terhadap kubu Sariani, maupun pihak-pihak yang melakukan tindakan kekerasan. Kemudian ketidaktegasan pemerintah dalam hal pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap dunia pendidikan.
Kedua media menampilkan kelompok sosial (Helmi dan Sariani) secara eksplisit telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sehingga langkah konkrit pemerintah untuk mengambil alih (status quo) terhadap UISU adalah langkah yang tepat walaupun sudah terlambat, sesuai dengan harapan mahasiswa. 
Wartawan Sumut Pos dan Sindo secara eksplisit tidak mengidentifikasi kehadiran Aliansi Aksi Mahasiswa UISU merupakan organ perlawanan di internal kampus UISU – Aliansi Mahasiswa UISU adalah gabungan solidaritas dari kawan-kawan USU, UISU, FMN, KDN dan GMKI – Formasu-BAM FISIP UISU, ITM, UNHAN, PT. Swadaya dan USU. Elemen-elemen mahasiswa ini memiliki ideologi dan kepentingan yang berbeda, namun pada prinsip dan tindakan sama, yaitu menyuarakan agar UISU damai jauh dari konflik kekuasaan. Hal ini yang menciptakan bahwa klaim pemihakan terhadap Helmi ditampilkan.
Sumut Pos dan Sindo secara langsung membuat khalayak membayangkan dan menghubungkan secara imajiner dengan komunitas yang lebih luas. Kasus penyerangan dan penggelapan dana yayasan adalah dua hal yang terpisah, tetapi dengan asosiasi dapat dibuat hubungan imajiner di antara kedua peristiwa tersebut sehingga menjadi alur narasi yang berhubungan.















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5. 1. Kesimpulan

5. 2. Saran